Perkembangan pembentukan Provinsi Cirebon mengalami pasang surut. Belakangan justru muncul ide perubahan nama Provinsi Jawa Barat menjadi Provinsi Pasundan. Lalu, apa kabar Presidium Pembentukan Provinsi Cirebon (P3C) yang selama ini berjuang ingin mewujudkan Provinsi Cirebon? “Kami presentasi di Setneg. Semua berjalan lancar. Mereka mendukung penuh langkah pembentukan Provinsi Cirebon,” ujarnya. Hal ini menjadi kado manis bagi P3C saat HUT ke-70 Kemerdekaan RI. Pembentukan Provinsi Cirebon merupakan hasil musyawarah masyarakat di wilayah III Cirebon yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 untuk mengatur mekanisme persayaratan administrasi dalam membentuk provinsi baru, serta peraturan Perundang – undangan terkait lainnya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK). Wacana pembentukan Provinsi Cirebon atau Provinsi Ciayumajakuning (Cirebon – Indramayu – Majelengka – Kuningan) dipicu adanya faktor sebagaimana terjadi di Wilayah Banten, kesadaran masyarakat akan histori masa silam (Kasultanan Cirebon) mengalami kebangkitan, disertai keinginan mengulang kejayaan masa lampau. Diketahui, saat pemerintahan Letnan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, status administratif Cirebon menjadi Keresidenan yang wilayahnya meliputi lima kabupaten yaitu : Cirebon, Kuningan, Maja, Bengawan Wetan, dan Galuh. Untuk kepentingan perhitungan pajak Resident John Crawfurd telah mendata Sub Division of Cheribon atau desa-desa di Cirebon, pada saat itu di wilayah Kabupaten Cirebon terdapat 152 desa. Salah satunya tercatat dalam urutan No. 23 Gegusjik (Desa Gegesik, Kab. Cirebon). Staatsblasd tahun 1816 Nomor 28 tanggal 10 Desember 1816, dibentuk daerah Residenten dan Assisten Residenten di Jawa dan Madura dan diluar Jawa. Residenten dipimpin oleh seorang Resident yang dibantu oleh Assisten Resident. Raffles menjadi Letnan Gubernur Jenderal di Jawa dengan masa yang sangat singkat. Dari catatannya dalam History of Java, selama kepemimpinannya (1811-1816), Raffles mengubah sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diberlakukan kolonial Belanda, yaitu sistem kepemilikan tanah yang kemungkinan besar dipengaruhi tulisan awal Dick van Hogendorp (1761–1822), dengan kebijakan landrente atau pajak bumi yang dilaksanakan berdasar hukum adat Jawa. Prinsip yang digunakannya berdasarkan pada teori liberalisme, seperti dipraktikkan Inggris di India. Raffles menetapkan, bahwa semua tanah adalah milik negara, dan rakyat sebagai pemakai (penggarap) yang wajib membayar sewa (berupa pajak bumi) kepada pemerintah. Pemimpin pribumi, seperti sultan dan bupati yang tidak taat pada peraturan landrente, akan dipecat. Dia juga mengubah sistem berkendara di koloni Belanda menjadi berkendara seperti di Inggris, yaitu memakai jalur kiri yang dipakai hingga sekarang (Syafrudin Azhar, pengantar History of Java, 2008). Dalam catatan itu juga disebutkan, selain menerapkan kebijakan landrente, Raffles juga membagi Tanah Jawa menjadi 16 karesidenan, serta mengurangi jabatan bupati yang berkuasa. Kesultnanan Banten dihapuskan, kedaulatan Kesultanan Cirebon harus diserahkan kepada kolonial Inggris, Sri Sultan Hamengkubuwono II (1750 -1828), Raja Kesultanan Yogyakarya, dianggap bertentangan dengan Raffles, kemudian diasingkan ke Pulau Pinang (1812). Pengganti Sultan Sepuh–julukan Sri Sultan Hamengkubuwaono II–adalah Sri Sultan Hamengku Buwono III (1769- 1814). Ayahanda dari Raden Mas Ontowiryo atau Pengeran Diponegoro (1785 – 1855). Pada masa Raffles (1811) Cirebon pernah menjadi provinsi yang disebut sebagai “provinsi Cheribon”. “Kita harus membuat satu aturan tegas,” kata komisi Belanda yang bertugas meneiliti masalah ini di tahun 1811, ”Mengenai tanah di antara Kabupaten Priangan, Provinsi Cheribon dan distrik sebelah timur. Di seluruh tanah Kabupaten Priangan banyakditemui tanah yang tidak ditanami, karena tidak ada penduduk desa di situ. Di sawah atau tanah yang ditanami, tiap penduduk, mulai dari bupati sampai pejabat rendahan memiliki bagian dan mereka dapat menggunakannya sesuka hati, entah dijual, dibiarkan atau bahkan dibuang begitu saja. Mereka kehilangan hak itu apabila meninggalkan desa tersebut secara diam-diam.” Dalam History of Java juga disebutkan,”Di Provinsi Cheribon, berdasarkan undang-undang lama, tiap distrik dan desa di Kabupaten Priangan, memiliki bagian tanahnya sendiri. Bedanya di kabupaten tersebut tanah menjadi milik desa dan perorangan. Namun di provinsi ini, desa dan tanah menjadi milik penguasa, atau keluarga dan orang kepercayaan sultan, kecuali sejumlah tanah yang diperuntukkan bagi masyarakat umum. Di Cheribon, para sultan dan pejabat lain mempunyai bagian tanah tersendiri, demikian juga rakyat biasa, di distrik timur berkebalikan dengan semuanya, tidak ada individu yang memiliki tanah. Tiap orang harus mematuhi aturan yang dibuat. Apabila seseorang merasa tidak puas, dia bisa berimigrasi ke tempat lain. Tak seorang pun merasa wajib menggarap tanah. Tiap penduduk Jawa, baik di Kabupaten Priangan, di Cheribon, atau distrik timur, merasa memiliki hak sepenuhnya atas berbagai tanaman buah-buahan dan pohon sirih, yang ada tepat di sekitar desa atau kampong mereka.\" Hanya saja, saat ini, usulan pembentukan provinsi Cirebon mendapat ganjalan. Dua daerah yang rencananya akan berada di bawah provinsi baru itu menolak masuk dalam presidium pembentukan Provinsi Cirebon. \"Kuningan dan Majalengka malah mendeklarasikan tetap berada di dalam provinsi Jawa Barat, jadi masih panjang prosesnya,\" kata Anggota Komisi A DPRD Jabar Deden Darmansyah di Bandung, Rabu 25 Juli 2012. (*)
Masa Thomas Stamford Raffles, Cirebon Pernah Menjadi Provinsi
Minggu 03-02-2019,19:11 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :