Heboh Cuitan Achmad Zaky, Wajah Riset Indonesia?

Jumat 15-02-2019,20:18 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

  Terjadi keriuhan di lini masa media sosial Twitter Indonesia pada Kamis (14/2) malam dengan tagar #UninstallBukalapak. Munculnya tagar ini ternyata dipicu oleh cuitan CEO sekaligus pendiri Bukalapak, Achmad Zaky, di Twitter. Pada 13 Februari 2019 pukul 22.25, CEO Bukalapak, Achmad Zaky, menulis di Twitternya, @achmadzaky: “Omong kosong industri 4.0 kalau budget R&D negara kita kaya gini (2016, in USD): 1. US 511B; 2. China 451B; 3. Jepang 165B; 4. Jerman 118B; 5. Korea 91B; 11. Taiwan 33B; 14. Australia 23B; 24. Malaysia 10B; 25. Spore 10B; 43. Indonesia 2B. Mudah2an presiden baru bisa naikin.” Cuitan yang kini sudah dihapus tersebut ditanggapi sejumlah warganet dengan menyimpulkan bahwa Zaky \'menyerang\' Joko Widodo. Diksi \'presiden baru\' diartikan sebagai dukungan terhadap lawan Jokowi di Pilpres 2019: Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Cuitan ini memicu munculnya tagar di Twitter seperti #uninstallbukalapak dan #LupaBapak. Salah satu pengguna yang turut menggunakan tagar #uninstallbukalapak mempertanyakan data yang digunakan oleh Zaky. Ia menyebutkan data yang digunakan Zaky adalah data tahun 2013, bukan 2016. Dan berdasarkan data 2018, peringkat Indonesia sudah naik drastis. Berdasarkan penelusuran radarcirebon.com, data yang digunakan oleh Zaky berasal dari Wikipedia mengenai pengeluaran R&D per negara. Namun Zaky tidak mencantumkan sumber kutipan. Dia juga mengabaikan perbedaan tahun rujukan yang digunakan oleh Wikipedia. Ia menyebutkan angka yang digunakan berdasarkan data tahun 2016, padahal hanya empat dari 10 negara yang ia cantumkan menggunakan data tahun tersebut. Tabel tersebut menunjukkan bahwa angka yang dirujuk Zaky dalam mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia untuk membangun industri 4.0 berasal dari tahun 2013, bukan 2016. Selain sumber angka, hal yang menjadi sorotan adalah masalah kenaikan anggaran riset. Salah satu pengguna Twitter yang menyanggah cuitan Zaky menyertakan gambar yang menunjukkan Indonesia ada di posisi 28, bukan lagi 43. Dari penelusuran radarcirebon.com, referensi yang digunakan untuk menyanggah berasal dari R&D Magazine periode Winter 2018. Dalam majalah tersebut, dituliskan bahwa pada 2017, pengeluaran R&D Indonesia sebesar 9,88 miliar dolar AS dan diperkirakan meningkat menjadi 10,40 miliar dolar AS pada 2018. Dalam terbitan Winter 2019, majalah tersebut menyebutkan realisasi anggaran R&D Indonesia tahun 2018 sebesar 10,58 miliar dolar AS dan diperkirakan akan meningkat menjadi 11,17 miliar dolar AS pada 2019. Angka-angka ini menunjukkan bahwa anggaran riset di Indonesia memang mengalami peningkatan, meski memang tidak sebesar negara lain. Terlepas dari kecerobohan dalam mengutip angka, cuitan Zaky membuat terjadinya diskusi lebih dalam mengenai kondisi riset di Indonesia. Salah satu perbincangan yang muncul adalah mengenai penghargaan terhadap periset dibandingkan dengan upah satpam, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 37/PMK02/2018, upah penunjang penelitian/perekayasaan untuk pembantu peneliti/perekayasa orang/jam adalah sebesar Rp25 ribu; koordinator peneliti/perekayasa orang/bulan adalah sebesar Rp420 ribu; sekretariat peneliti/perekayasa orang/bulan adalah sebesar Rp300 ribu; pengolah data sebesar Rp1,54 juta; petugas survei orang/responden adalah sebesar 8.000; dan pembantu lapangan orang/hari adalah sebesar Rp80 ribu. Angka-angka ini kemudian dibandingkan dengan upah satpam dan pengemudi yang mencapai Rp4,102 juta dan upah petugas kebersihan dan pramubakti yang mencapai Rp3,73 juta per bulan untuk wilayah DKI Jakarta. Jika angka-angka ini dibandingkan begitu saja, maka upah untuk kegiatan penunjang riset tampak tidak berbeda jauh dengan upah petugas kebersihan dan keamanan. Namun perlu diingat bahwa upah ini merupakan tambahan dari penghasilan tetap yang diperoleh peneliti. Kualitas riset juga bisa dilihat dari posisi universitas di Indonesia yang masih rendah. Mengacu pada daftar yang dibuat Times Higher Education, dua universitas di Indonesia, ITB dan UI berada di peringkat 1000. Di Asia, ITB dan UI menempati urutan 201-250. Sedangkan di dunia, ITB menempati urutan 801-1000 dan UI menempati 601-800. Hal ini cukup jauh dibandingkan dua universitas Singapura yang menempati urutan 23 untuk National University of Singapore dan 51 untuk Nanyang Technology of University. Rendahnya anggaran riset meski mengalami kenaikan, tunjangan yang minim, dan posisi universitas yang masih rendah masih menjadi pekerjaan rumah bagi pengembangan riset di Indonesia. Meski tidak teliti dalam menyebutkan tahun, cuitan Zaky membantu memunculkan diskusi mengenai kondisi dunia riset di Indonesia dari sisi anggaran. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait