Jaksa Penuntut Umum KPK Sebut Diduga Sunjaya Sering Meminta Uang Imbalan Pejabat yang Dilantik

Rabu 27-02-2019,15:21 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Bupati nonaktif Cirebon Sunjaya Purwadisastra didakwa menerima uang Rp 100 juta dari Gatot Rachmanto selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Cirebon. Diduga, uang tersebut terkait jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Cirebon. “Terdakwa melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, yakni menerima hadiah berupa uang sejumlah Rp100 juta,” ujar jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Iskandar Marwanto saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat, Rabu (27/2/2019). Dakwaan disampaikan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, Rabu (27/2). Disebutkan, suap diterima Sunjaya melalui ajudannya Deni Syafrudin, pemberian dari Gatot Rachmanto selaku Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Cirebon. \"Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yaitu terdakwa dan Deni Syafrudin mengetahui atau patut menduga bahwa pemberian uang tersebut karena terdakwa telah mengangkat dan melantik Gatot Rachmanto sebagai Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Cirebon,\" kata jaksa penuntut KPK, Iskandar Marwanto. Sunjaya Purwadisastra menjabat bupati Cirebon periode 2014-2019. Jaksa menyebut, perbuatan terdakwa menerima suap bertentangan dengan kewajibannya selaku Bupati Kabupaten Cirebon sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Terdakwa Sunjaya selaku Bupati Cirebon yang sekaligus bertindak sebagal Pejabat Pembina Kepegawalan (PPK) Kabupaten Cirebon memiliki wewenang untuk menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemerintahan Kabupaten Cirebon. Tetapi Sunjaya dalam proses promosi jabatan di Pemerintahan Kabupaten Cirebon telah melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, yakni melakukan intervensi terhadap tugas Tim Penilai Kinerja PNS. Sehingga tugas dan fungsi Tim Penilai Kinerja PNS hanya formalitas. Jaksa mengungkapkan, dalam promosi jabatan tersebut, terdakwa sering meminta imbalan uang kepada pejabat yang dilantik dengan besaran untuk jabatan setingkat eselon III A sebesar Rp100 juta untuk jabatan setingkat eselon lll B sebesar Rp50-75 juta dan untuk jabatan setingkat eselon IV sebesar Rp25-30 juta. Permintaan imbalan uang tersebut juga dilakukan oleh Sunjaya ketika mempromosikan Gatot dalam Jabatan Eselon Ill A sebagal Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Cirebon. Gatot sendiri sudah divonis hukuman 1,2 tahun penjara atas perbuatannya. Terdakwa Sumjaya sekitar Juli 2018 sebelum menyetujui usulan promosi tersebut telah menanyakan \"komitmen\" dan \"loyalitas\" kepada Gatot, di mana Gatot menyanggupinya. Pada sekitar akhir Juli 2018 ketika Kepala Dinas PUPR Kabupaten Cirebon Avip Suherdian, menyampaikan usulan Gatot menduduki jabatan Sekdis PUPR Cirebon, terdakwa Sunjaya langsung menyetujui usulan tersebut dan meminta Avip mengingatkan Gatot perihal imbalan uang untuk terdakwa. Avip kemudian mengusulkan Gatot sebagai Sekretaris Dinas PUPR berdasarkan surat Nomor 800/2124/Sekr tanggal 8 Agustus 2018 yang ditujukan Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Pemerintah Kabupaten Cirebon dengan tembusan kepada terdakwa. Atas usulan itu terdakwa langsung mendisposisi “agar ditindaklanjuti” yang ditujukan kepada Supadi Priyatna selaku Kepala BKPSDM Kabupaten Cirebon. Pada 3 Oktober 2018, terdakwa Sunjaya melantik Gatot menjadi Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Cirebon berdasarkan Keputusan Bupati Cirebon Nomor. 821.23/Kep.238/BKPSDM/2018 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Administrator di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon tertanggal 2 Oktober 2018. Terdakwa pada 17 Oktober 2018 sekitar pukul 10.00 WIB menghubungi Avip mengingatkan Gatot untuk segera “menghadap” terdakwa. Selanjutnya, Avip memanggil Gatot menyampaikan pesan terdakwa tersebut, yang disanggupi oleh Gatot. Kemudian Senin, 22 Oktober 2018 sekitar pukul 17.00 WIB, terdakwa Sunjaya menerima telepon dari Gatot yang menyampaikan keinginannya untuk memberikan uang terkait promosi dirinya. Terdakwa pada saat itu mengatakan “nanti yang ‘itu’ titip ke Deni aja ya?\", kemudian terdakwa menyerahkan handphonenya kepada Deni Syafrudin. Deni yang pada saat itu mendengar perkataan terdakwa langsung memahami maksud terdakwa, sehingga kemudian Deni membuat kesepakatan dengan Gatot untuk bertemu guna penyerahan uang tersebut. Setelah selesai menelepon, terdakwa mengingatkan Deni agar berkoordinasi dengan Gatot esok harinya. Pada Selasa 23 Oktober 2019, sekitar pukul 13.00 WIB Gatot menelepon Deni dan disepakati untuk bertemu di Kantor Dinas PUPR. Setelah Deni bertemu Gatot di ruang kerjanya, selanjutnya Gatot menyerahkan tas berisi uang sejumlah Rp100 juta kepada Deni sambil menyampaikan \"Mas titip ke Bapak, 100\". Setelah menerima uang dari Gatot selanjutnya Deni melaksanan arahan terdakwa Sunjaya untuk mentransfer uang sejumlah Rp250 juta guna keperluan sumbangan acara Hari Sumpah Pemuda Partai Demokrasi indonesia Perjuangan (PDIP). Atas dasar arahan terdakwa tersebut, Deni menggabungkan uang yang berasal dari Gatot sejumlah Rp100 juta dengan uang milik terdakwa sejumlah Rp70 juta yang ada dalam penguasaan Deni, ditambah dengan uang sejumlah Rp80 juta pemberian dari Supadi Priyatna. sehingga seluruhnya menjadi berjumlah Rp250 juta. Deni kemudian menyetorkan uang sejumlah Rp250 juta tersebut ke Bank Mandiri Cabang Sumber nomor atas nama Elvi Diana untuk sumbangan Hari Sumpah Pemuda. Deni lalu sekitar pukul 16.00 WIB melaporkan kepada Terdakwa perihal penerimaan uang dari Gatot yang digabung dengan uang lainnya untuk disetorkan sebagai sumbangan acara Hari Sumpah Pemuda PDIP sesuai arahan terdakwa. Perbuatan terdakwa Sunjaya didakwa melanggar tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 dan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Republik lndonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terdakwa terancam pidana dengan maksimal kurungan penjara 20 tahun. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait