Jokowi saat ini memimpin jajak pendapat untuk Pilpres 2019 pada bulan April mendatang. Namun pemilu baru-baru ini membuktikan bahwa jajak pendapat tidak selalu akurat. Bisakah Prabowo membalikkan jajak pendapat dan memenangkan Pilpres 2019? Bagi Prabowo, cara untuk membalikkan keadaan adalah dengan menghindari kesalahan lebih lanjut dalam tim kampanyenya dan memobilisasi pemilih Muslim, sambil terus menyerang perekonomian Jokowi. Pada 17 April 2019, masyarakat Indonesia akan pergi ke tempat pemungutan suara untuk memutuskan siapa yang akan memimpin negara ini untuk lima tahun ke depan. Walau Jokowi memimpin dalam jajak pendapat, namun peluang Prabowo masih ada. Pemilu Gubernur Jakarta baru-baru ini dan pemilihan umum di Malaysia menunjukkan bagaimana jajak pendapat bisa salah. Pada awal kampanye, Prabowo berjuang untuk mendapatkan momentum. Partai-partai koalisinya tidak sepenuhnya mendukung. Namun, Prabowo mampu menyatukan para pemimpin partai dan bangkit kembali dengan lebih kuat. Jajak pendapat menunjukkan bahwa dia mencapai hampir 35 persen—meningkat signifikan dari 30 persen pada akhir tahun 2018. Angka-angka baru itu telah mendorong rasa percaya diri di kubunya dan telah membuat pihak lain gugup. Mantan Menteri Kelautan Jokowi, Rizal Ramli, percaya bahwa Prabowo “memang bisa mengejutkan, sama seperti kemenangan Mahathir di Malaysia atas Najib Razak.” Ada rasa frustrasi yang semakin besar terhadap Presiden Jokowi di kalangan petani Indonesia. Harga yang rendah dan impor komoditas yang tinggi seperti jagung, gula, dan beras, memicu frustrasi ini. Elemen kelas menengah Indonesia juga kecewa. Kegagalan Jokowi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi 7 persen yang dijanjikan mulai menimbulkan keresahan. Menurut Rizal Ramli, seperti dilansir Asean Today Can Prabowo pull off an upset to become the next president of Indonesia? ada “keinginan untuk perubahan yang mendapatkan momentum… karena orang-orang sudah bosan dengan Jokowi.” Prabowo berusaha menunggangi gelombang untuk perubahan, untuk menuju kemenangan dalam Pilpres 2019. Hampir lima tahun setelah pemilihan Jokowi, ekonomi Indonesia telah mencapai pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahunan sebesar 5 persen. Melonjaknya utang publik, meningkatnya impor komoditas, dan meluasnya defisit perdagangan sangat membebani Jokowi. Selain itu, Jokowi telah dikritik karena terlalu lemah terhadap para pemain asing. Prabowo menawarkan janji swasembada dan kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis yang akan fokus pada peningkatan kehidupan masyarakat Indonesia. Prabowo dengan terkenal mengatakan dalam debat presiden kedua, bahwa “ekonomi seharusnya untuk rakyat, bukan rakyat untuk ekonomi.” Prabowo ingin meningkatkan kesejahteraan petani dan berupaya melindungi harga kebutuhan pokok dengan membatasi impor komoditas. Dia telah mengkritik pemerintah karena membiarkan sejumlah besar pekerja asing masuk ke negara itu, dan diam saja sementara perusahaan asing mendapat keuntungan dari sumber daya alam Indonesia. Masalah ekonomi, menurut Colin Brown, seorang profesor di Griffith Asia Institute, “telah bekerja lebih banyak dalam mendukung Prabowo.” Prabowo dan pasangannya, Sandiaga Uno, juga membuat kemajuan di kalangan pemilih muda. Upaya Sandiaga untuk meningkatkan kesadaran akan berkurangnya daya beli masyarakat Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi, memiliki efek yang diinginkan. Para pemilih milenial semakin khawatir dengan melemahnya rupiah. Sebagai petahana, semua jari menunjuk pada Jokowi sebagai biang keladinya. Penunjukan Jokowi atas ulama Ma’ruf Amin sebagai pasangannya, tampaknya merupakan upaya untuk melindungi dirinya dari serangan agama. Keputusannya ini memberikannya suara penting dari Nahdatul Ulama (NU)—organisasi Muslim terbesar di negara itu—ke dalam jajaran pendukungnya. Namun, masalah ini belum hilang. Justru, langkah itu memecah Muslim Indonesia. Pemilihan Gubernur Jakarta yang memanas membuat Basuki Tjahaja Purnama atau “Ahok” menderita kekalahan dalam pemilu yang diwarnai oleh semangat keagamaan. Tuduhan penistaan agama yang ditujukan pada Ahok masih bisa menimbulkan masalah bagi Jokowi. Jokowi—yang mendukung Ahok—masih dipandang sebagai sekutu penista agama. Pemerintahan Jokowi juga telah dituduh secara tidak adil menahan ulama Muslim negara itu. Larangan terhadap kelompok Muslim seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga dipandang sebagai hukum yang tidak adil terhadap Muslim. Karena itu, sejumlah besar Muslim, menurut Ramli, mungkin belum memilih Jokowi. Peluang Prabowo untuk memenangkan kursi kepresidenan masih besar. Namun, tim kampanyenya tidak boleh lagi melakukan kesalahan. Ratna Sarumpaet—kepala kampanye Prabowo dan aktris—berbohong tentang serangan bermotif politik. Luka-lukanya adalah akibat dari operasi plastik. Sandiaga juga terjebak dalam kebohongan publik. Dia mengaku telah masuk pesantren di masa mudanya. Pada kenyataannya, pengusaha yang berubah menjadi politisi itu dididik di dua institut Kristen swasta. Prabowo juga telah membuat beberapa kesalahan besar. Dia secara terbuka mengejek pemilih dari Boyolali, Jawa Tengah, dan pengemudi ojek. Serangkaian kesalahan dari Prabowo dan tim kampanyenya telah menghalangi beberapa serangan mereka, dan memungkinkan Jokowi untuk melakukan serangan ofensif ketika, sebagai petahana, ia telah membangun kampanye yang sebagian besar bersifat defensif. Selain memusatkan perhatian pemilih pada kinerja ekonomi negara yang buruk, Prabowo kemungkinan akan terus memobilisasi Muslim konservatif untuk menggeser Jokowi. Banyak pengunjuk rasa dari Aksi 212—sebuah gerakan yang membela Islam melawan mantan Gubernur Ahok—mendukung Prabowo. Para pendukung itu bisa menjadi titik poros untuk membalikkan keadaan. Bagi Prabowo, cara untuk membalikkan keadaan adalah dengan menghindari kesalahan lebih lanjut dan memobilisasi pemilih Muslim, sambil terus menyerang perekonomian Jokowi. Jika dia tidak bisa menanamkan disiplin di antara para pemimpin kampanyenya, kemenangan bisa lolos darinya. Jokowi masih merupakan kandidat kuat untuk memenangkan kursi kepresidenan. Dia telah berhasil mengatasi masalah mendasar di negara itu, mengubah infrastruktur, serta memperluas kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat. Jika dia dapat menghindari pemilu menjadi pertarungan agama, dia kemungkinan dapat mengambil suara yang diperlukan untuk memenangkan 5 tahun lagi menjabat di kursi panas itu. (*)
Bisakah Prabowo Subianto Balikkan Jajak Pendapat dan Menangkan Pilpres 2019?
Senin 04-03-2019,13:01 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :