Mengungkap Hubungan Erat Gereja Independen dan Pusat Perbelanjaan di Indonesia

Kamis 07-03-2019,10:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Gereja-gereja independen tengah berkembang di tempat-tempat seperti pusat perbelanjaan dalam upaya untuk menghindari rintangan birokrasi dan mendapatkan lebih banyak keamanan. Indonesia memiliki komunitas Kristen terbesar di Asia Tenggara, dengan sekitar 23,5 juta jemaat. Seorang pemimpin gereja China Indonesia yang gerejanya terletak di pusat perbelanjaan utama di Jalan Casablanca, Jakarta Selatan, mencatat bahwa “Muslim Radikal jauh lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan protes di luar pusat perbelanjaan untuk menuntut developer menutup mal.” Demikian laporan yang ditulis Terence Chong bertajuk For Christians in Indonesia, retail and religion are intertwined. Just look at Singapore keriuhan jemaat berubah senyap ketika musik memelan. Dengan tangan terangkat ke atas, pastor yang berpenampilan rapi berjalan melintasi panggung sambal memegang mikrofon, bersyukur kepada Tuhan dan menyerukan kehadiran-Nya untuk memenuhi aula. Dalam tulisan tersebut, Chong mengungkapkan hampir beriringan, jemaat di sekitar yang sebagian besar di antaranya adalah anak muda China Indonesia, mengangkat tangan mereka dengan konsentrasi penuh untuk menggemakan seruan pendeta mereka. Sulit untuk mengatakan apakah gelombang udara dingin yang merayapi kulit adalah Roh Kudus atau udara berpendingin pusat perbelanjaan, meski tetap terasa nikmat. Misa ini berlangsung di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta Pusat. Hubungan erat antara jaringan ritel dan agama telah menjadi pemandangan yang semakin lazim di pusat-pusat kota di Indonesia, bersamaan dengan pertumbuhan gereja-gereja karismatik independen di Indonesia. Selain Filipina, Indonesia adalah rumah bagi komunitas Kristen terbesar di Asia Tenggara. Menurut data resmi tahun 2010, ada sekitar 23,4 juta umat Kristen di Indonesia, hampir 10 persen dari total populasi. Fitur utama dari komunitas ini adalah pertumbuhan gereja-gereja independen. Sebagaimana diketahui, Terence Chong adalah seorang sosiolog dan Wakil Direktur ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura. Artikel ini adalah kutipan dari versi yang lebih panjang dalam ISEAS Perspective Issue 2019, No. 8. Penelitiannya didukung oleh Social Science Research Thematic Grant, Singapura. Diungkapkannya, seperti kebanyakan gereja independen, gereja-gereja di Indonesia memiliki tiga karakteristik. Pertama, mereka biasanya dipimpin oleh seorang pastor senior yang karismatik yang mungkin telah mendirikan gereja. Pastor itu seringkali menjadi wajah gereja dan otoritas tertinggi untuk semua hal yang berhubungan dengan gereja. Yang terpenting, para pastor senior ini menguasai otonomi keuangan. Tanpa berafiliasi dengan denominasi arus utama, dana gereja bebas dari kontrol terpusat, sehingga memberikan pastor keleluasaan penuh atas kebijakan keuangan dan pengeluaran gereja (atau lebih dari satu gereja) yang mereka pimpin. Kedua, gereja-gereja independen, seperti yang tersirat dalam istilahnya, tidak memiliki afiliasi kelembagaan atau konsesi dengan otoritas teologis, tidak seperti paroki Anglikan atau Katolik, yang masing-masing bertanggung jawab kepada Gereja Inggris atau Vatikan. Meski itu berarti gereja-gereja independen tidak memiliki jaringan sumber daya global untuk dimanfaatkan, mereka dapat dengan cepat mengembangkan jaringan dan hubungan dengan gereja-gereja sejenis di dalam dan di luar negeri. Sebagai contoh, beberapa gereja independen Indonesia memiliki hubungan dengan gereja-gereja besar di Singapura. Tautan semacam itu termasuk aliran transnasional dari pengkhotbah tamu, adopsi model kelompok sel dari gereja-gereja Singapura, serta penggunaan teknologi dan praktik yang memungkinkan layanan yang lebih efisien, seperti transfer persepuluhan secara elektronik. Beberapa pastor Indonesia yang kami ajak bicara memandang Singapura sebagai pusat kemajuan teologi yang dapat mereka pelajari, sehingga menghasilkan hubungan simbiosis antara gereja-gereja independen di kedua negara ini. Membangun gereja merupakan hal yang relatif mudah di Indonesia. Pertama-tama Anda harus memperoleh keanggotaan dalam sebuah sinode, yang umumnya berfungsi sebagai filter untuk memastikan gereja-gereja dalam jangkauan mereka tidak mendukung ajaran yang merugikan masyarakat Indonesia. Hanya dengan keanggotaan sinode, gereja baru dapat mendekati Kementerian Agama untuk pendaftaran formal. Setelah pendaftaran resmi disetujui, gereja dapat mulai melakukan pelayanan dan kegiatan terkait lainnya. Konstruksi fisik sebuah gereja sedikit lebih rumit. Sejak tahun 2006, sudah menjadi kewajiban bagi semua agama, termasuk Kristen, untuk mengajukan izin bangunan sebelum konstruksi dapat dimulai. Izin tersebut mengharuskan gereja untuk menyerahkan nama-nama setidaknya 90 jemaat, setidaknya 60 penandatang dari komunitas lokal (yang bukan Kristen) yang menyetujui pembangunan gereja di lingkungan mereka, rekomendasi dari kepala Kementerian Agama daerah, dan rekomendasi dari kepala Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) daerah. Banyak gereja baru gagal dibangun karena rintangan birokrasi ini. Dalam upaya untuk menghindarinya, semakin banyak gereja Indonesia yang dibangun di berbagai pusat perbelanjaan. Ada beberapa alasan untuk melakukannya. Pertama, auditorium dan aula di mal adalah tempat siap pakai untuk sejumlah besar orang. Dengan parkir mobil dalam jumlah besar besar serta eskalator dan koridor luas, pusat perbelanjaan memfasilitasi arus besar orang. Gereja di pusat perbelanjaan juga berlokasi di ruang ritel di mana jemaat yang lebih muda cenderung berkumpul. Yang terakhir, banyak mal memiliki petugas keamanan sendiri. Hal ini menawarkan perasaan tentram yang tidak dimiliki oleh gereja yang berdiri sendiri di lingkungan mayoritas Muslim. Seorang pemimpin gereja China Indonesia yang gerejanya terletak di pusat perbelanjaan utama di Jalan Casablanca, Jakarta Selatan, mencatat bahwa “Muslim Radikal jauh lebih kecil kemungkinannya untuk melakukan protes di luar pusat perbelanjaan untuk menuntut developer menutup mal.” Gereja-gereja untuk konsumsi massal tersebut, yang jauh dari melemahkan gereja, sebenarnya justru menawarkan perlindungan dari kelompok-kelompok yang bermusuhan dalam masyarakat multikultural. Selain ruang ritel, gereja-gereja tersebut juga lebih suka ditempatkan di area bisnis dan menghindari area perumahan karena khawatir akan oposisi terbuka. Tren ini juga terlihat di Singapura. Namun, model Singapura berbeda dari model di Jakarta dan Surabaya. Gereja-gereja independen di Singapura seringkali terpaksa menggunakan ruang-ruang non-tradisional seperti bioskop-bioskop tua, ballroom atau auditorium hotel karena keterbatasan lahan. Mereka tidak hanya harus bersaing dengan denominasi arus utama lainnya untuk situs yang telah ditetapkan sebagai tempat ibadah di bawah rencana induk kota, tetapi juga dengan kelompok agama lain seperti Islam, Hindu, dan Budha. Karena itu, banyak gereja yang terpaksa menggunakan bangunan komersial atau industri. Sejumlah gereja kecil Singapura cukup kaya untuk menjadi pemangku kepentingan utama dalam bangunan semacam itu. Namun, pedoman pemerintah membatasi penggunaan agama atas bangunan ritel dan komersial hingga 10.000 meter persegi dan melarang penggambaran ikonografi agama seperti salib atau Alkitab secara publik. Alasan dan motif untuk praktik tersebut jelas bervariasi di kawasan ini. Terdapat perubahan naluriah ke praktik kapitalis dan ruang komersial ketika negara (di Singapura) atau kelompok agama lain (di Indonesia) tidak mengizinkan gereja-gereja independen untuk membangun gedung untuk tempat mereka sendiri. Namun, dalam semua kasus, pusat perbelanjaan menjadi juru selamat yang membantu pelaksanaan praktik ibadah. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait