ADA berita menarik tapi tidak penting: pesawat Saudi balik ke landasan. Ada berita penting tapi juga menarik: jatuhnya pesawat Ethiopia. Yang di Saudi Arabia itu benar-benar lucu. Pesawat sudah meninggalkan landasan Jeddah. Sudah di angkasa. Menuju Kuala Lumpur, Malaysia.
Tiba-tiba seorang penumpang histeris. Wanita. Dia memberitahu awak pesawat: bayinya ketinggalan di ruang tunggu. Sang pramugari segera melapor ke pilot. Pilot mengontak tower di darat: minta ijin pesawatnya kembali ke landasan.
Terjadilah pembicaraan radio. Yang rekamannya disiarkan kantor berita internasional. Yang berisi keprihatinan: bagaimana bisa seorang ibu lupa bayinya. Memang tidak disiarkan identitas si penumpang. Pun detail lainnya. Tapi benar-benar baru sekali ini terjadi: penumpang ketinggalan bayinya. Padahal bukankah bayi pun harus punya boarding pass?
Berita itu tenggelam oleh berita besar. Di hari yang sama. Begitulah hukumnya: berita kecil kalah dengan berita besar. Yang besar kalah dengan yang lebih besar. Yakni jatuhnya pesawat Ethiopia. Serba mirip dengan jatuhnya Lion di Indonesia. Lima bulan lalu. Sama-sama baru take off sekitar 5 menit. Sama-sama punya problem untuk mencapai ketinggian.
Jenis pesawatnya sama: Boeing 737 MAX8. Yang dirancang paling canggih. Dengan keunggulan utamanya: lebih hemat bahan bakar. Persaingan pesawat adalah persaingan bahan bakar. Merpati pernah mengalami kekalahan efisien ini.
Problemnya: punya banyak pesawat MA. Bikinan Tiongkok. Dari pabriknya di Xian. Sangat boros bahan bakar. Kian diterbangkan kian menyebabkan rugi. Biaya bahan bakarnya per penumpang per kilometer 16 cent dolar. Padahal ATR bisa hanya 9 cent dolar per penumpang per kilometer.
Angka itu tidak tepat benar. Tapi kira-kira begitulah perbandingan efisiensinya. Garuda kini juga punya problem yang mirip. Untuk beberapa pesawat jet jenis Bombardiernya. Boleh dikata jenis Bombardier ini terjepit: ke atas kalah efisien dengan armada 737. Ke bawah kalah efisien dengan ATR. ATR kini jadi bintang efisien di kelas baling-baling. Boeing 777 menjadi bintang efisiensi di kelas pesawat berbadan besar. Dan 737 MAX8 bintang efisiensi di kelas menengah.
Lion Air tahu perhitungan seperti itu. Karena itu yang banyak dibeli Lion adalah jenis 737 dan ATR. Pun saat Boeing 737 MAX8 diluncurkan Lion menjadi pemesan pertamanya. Tiongkok juga memesan sangat banyak. Lebih dari 1000 pesawat. Yang sudah dikirim 96 pesawat. Jumlah yang dibeli Tiongkok itu sudah seperempat dunia. Semua itu kini dilarang terbang.
Yang melarang adalah otoritas penerbangan di Tiongkok, CAAC. Keputusan itu diambil hanya beberapa jam setelah pesawat jenis tersebut jatuh di Ethiopia. Di saat penyebab kecelakaan Lion belum dijelaskan detailnya. Keputusan Tiongkok itu ternyata menyengat Amerika. Otoritas penerbangan Amerika, FAA, justru mengeluarkan pernyataan sebaliknya. Hanya beberapa jam setelah keputusan Tiongkok itu. Isinya: pesawat jenis yang jatuh itu sangat layak terbang.
Tapi hanya Amerika yang tetap tidak melarang 737 MAX8 terbang. Banyak negara lain segera mengikuti langkah Tiongkok: Indonesia, Maroko, Singapura, Korsel. Bahkan belakangan juga Inggris dan Eropa. Sekutu utama Amerika. Kecelakaan Ethiopia itu meluas ke masalah otoritas dunia. Keputusan Tiongkok itu dianggap sama dengan pembangkangan. Kini Tiongkok seperti mengatakan “FAA kini bukanlah satu-satunya otoritas dunia untuk bidang penerbangan\".
CAAC terus mempersoalkan: mengapa sampai sekarang Boeing belum memberikan keterangan detail. Khususnya mengenai software kepilotan di pesawat tersebut. Tapi FAA tetap teguh: tidak ada dasar untuk meminta pesawat jenis itu tidak boleh terbang.
Ini berarti \'fatwa\' FAA itu tidak didengar lagi. Setidaknya oleh 45 negara. Tinggal enam negara yang masih mengizinkan terbang: Amerika, Kanada, Thailand, Panama, Mauritania. Beberapa tokoh politik Amerika lantas angkat bicara. Tidak setuju dengan FAA. Mereka menyerukan agar pesawat sejenis jangan diterbangkan dulu. Bahkan Presiden Donald Trump unggah twitter: sekarang ini teknologi pesawat sudah berkembang terlalu jauh dan terlalu kompleks untuk menerbangkannya.
“Sekarang ini pilot sudah tidak diperlukan. Sudah diganti komputer dari MIT,” tulisnya. Sampai kemarin belum ada respons memadai dari Boeing. Tapi bukan berarti tidak ada perhatian. Boeing pernah mengumumkan akan memperbaharui software di pesawat tersebut. Yang rencananya akan diluncurkan April bulan depan.
Boeing memang tidak mudah merespons dua kecelakaan tersebut. Bisa berakibat ke tuntutan hukum. Sekarang saja harga saham Boeing sudah turun 15 persen. Sambil menunggu software baru, kita bisa lebih keras dalam berdoa. (dahlan iskan)