PR Besar Presiden Terpilih adalah Berantas Korupsi

Senin 08-04-2019,11:30 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

KORUPSI sudah semakin merajalela dalam segala lini. Oleh karena itu, siapapun presiden yang terpilih nanti harus bisa memberantas korupsi. Penindakan yang dilakukan aparat penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan dan KPK, rupanya tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Transparency International Indonesia (TII) menyebutkan, skor Corruption Perception Index (CPI) 2018 mengalami kenaikan. Indonesia berada di peringkat 89 dengan angka 38. Sebelumnya, hasil CPI 2017, skor Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara dengan skor 37. Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan ada 4 poin yang harus dijalankan presiden yang terpilih jika ingin serius menekan angka korupsi di Indonesia. Pertama, harus mempu membenahi sistem politik di Indonesia yang sangat menguras banyak anggaran, pasalnya dengan sistem politik yang mahal banyak melahirkan politisi politisi dan birokrasi yang korupstif. Kedua, harus berani melakukan pembenahan secara masif terhadap sistem rekrutmen sumber daya manusia dan kader partai politik yang akan dimajukan menjadi anggota legislatif. Ketiga, perbaikan moral manusia khususnya para pejabat negara yang masuk dalam parpol. Pendekatan agama melalui tokoh-tokoh agama dapat menjadi pencegahan untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Terkahir, penindakan korupsi harus dimaksimalisir dengan cara presiden mendukung KPK sepenuhnya dan memerintahkan jaksa agung untuk membersihkan Kejaksaan sari sikap-sikap koruptif yang mendarah daging. “Kemudian memerintahkan untuk memberantas korupsi dengan tegas bersama-sama KPK,” ujar Fickar kepada Fajar Indonesia Network/FIN (Radar Cirebon Group). Senada dengan Fickar, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menegaskan, presiden yang terpilih nanti harus berani menindak tegas pelaku korupsi siapun itu tidak pandang bulu. “Presiden mendatang harus berani dan tegas dalam menghadapi pelaku korupsi, karena koruptor selalu mencari celah agar kelakuan tercelanya itu tidak mendapatkan hukuman maksimal,” katanya. “Terapkan hukum maksimal pelaku korupsi tanpa pandang bulu, jika perlu hukum mati biar orang takut jika ingin korupsi,” tambah Boyamin. Terkait pemberantasan korupsi di era Jokowi, Boyamin mengaku kecewa. “Jokowi tidak sesuai harapan saya. Aku tak mau menerima alasan apapun termasuk infrastruktur. Jokowi gagal dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,” katanya. Diketahui, awal tahun 2019, Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko memaparkan CPI Indonesia. “Skor CPI Indonesia untuk tahun 2018 adalah 38, dari 0-100 dengan ranking 89,” kata Wawan di Jakarta, belum lama ini. Skor Indonesia naik satu poin. Sebelumnya, berdasarkan hasil CPI 2017, skor Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara dengan skor 37. Skor Indonesia sendiri sama dengan Bosnia Herzegovina, Srilanka, dan Swaziland. Di lingkaran Asean, Indonesia masih di bawah Malaysia yang mengantongi skor 47. Peringkat pertama ditempati Singapura dengan skor 85, sementara kedua adalah Brunei Darussalam (skor 63), kemudian Malaysia. Di bawah Indonesia ada Filipina (skor 34). Sementara itu, 3 negara terbawah di Asean adalah Kamboja dengan skor 20, Myanmar dan Laos (skor 29). Sementara itu, di dunia internasional, skor Indonesia masih di bawah angka rata-rata CPI internasional. Saat ini, angka CPI rerata ada di angka 43. Angka CPI di berbagai dunia mengalami stagnan karena setidaknya 60 persen negara dari 180 negara di dunia tidak mengalami perubahan skor CPI. Di dunia internasional, tiga terbesar adalah Denmark (skor 88), New Zaeland (skor 87) dan 4 negara di peringkat 3 yakni Singapura, Finlandia, Swedia, dan Switzerland (skor 85). (ian/fin)

Tags :
Kategori :

Terkait