Jelang 17 April: Film Sexy Killer Diputar, Batu Bara Satukan Dua Kubu Calon Presiden RI

Sabtu 13-04-2019,01:38 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Jaringan pebisnis dan politisi Indonesia dalam sektor pertambangan menjadi tema film dokumenter terbaru Sexy Killers yang diproduksi Watchdoc dan diputar di University of Melbourne, Kamis malam (11/04/2019). Film tersebut diawali dengan kisah sejumlah warga di Kalimantan Timur yang kesulitan mendapat air bersih setelah ekspansi pertambangan batu bara. https://twitter.com/Dandhy_Laksono/status/1114822587731722240?s=19 Seperti yang dialami Nyoman, warga yang mengikuti program transmigrasi ke Kutai Kertanegara dan mengaku kehadiran perusahaan batu bara sudah memblokir aliran air ke pertanian. Belum lagi dampak dari lubang bekas pertambangan yang berada di sekitar kawasan pemukiman warga yang sepanjang tahun 2014-2018 telah merengut 115 nyawa. https://youtu.be/9f4yD44blpw Fakta lainnya yang diangkat dalam film dokumenter tersebut adalah proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di kabupaten Batang, Jawa Tengah. Warga Batang yang sebagian besarnya adalah nelayan dan petani telah berjuang selama lima tahun untuk menentang proyek pembangunan PLTU Batang, yang disebut oleh aktivis sebagai \"proyek kotor\". Penentangan warga mendapat dukungan dari lembaga aktivis Greenpeace, Walhi dan Jatam yang juga pernah menduduki alat berat yang beroperasi di perairan Roban Timur. Disebutkan dalam laporan Greenpeace, PLTU Batang menjadi pembangkit listrik tenaga uap terbesar di Asia Tenggara yang dibangun di tanah seluas 226 hektar dan \"memangsa\" lahan pertanian dan perkebunan produktif.

Di film tersebut seorang nelayan geram setelah Presiden Joko Widodo meresmikan proyek pembangunan PLTU Batang. \"Bila PLTU berdiri, anakku mau dibawa ke mana? Tak ada tempat lagi di Indonesia,\" ujar nelayan sambil menahan amarah dan air matanya. \"Gara-gara orang pintar, gunung dijual, laut ditanami besi.\" Bagian menarik dalam film tersebut adalah bagaimana kedua kandidat calon presiden, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, beserta orang-orang di sekelilingnya memiliki keterkaitan dalam mengusasi tambang batu bara. https://twitter.com/Dandhy_Laksono/status/1116613167084269569?s=19 Dalam film tersebut disebutkan perusahaan mebel PT Rakabu Sejahtera tidak hanya dimiliki keluarga Jokowi. Saham perusahaan tersebut yang juga bergerak di banyak bidang, termasuk konstruksi, pengembangan wilayah transmigrasi, pembebasan lahan, juga dimiliki oleh PT Toba Sejahtera milik Luhut Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, yang juga induk perusahaan Toba Bara, yang memiliki tambang batu bara. PT Toba Bara kemudian membeli perusahaan Sandiaga Uno yang mengoperasikan PLTU Paiton di Jawa Timur. Beberapa nama lain dari tim sukses kubu 01 Joko Widodo juga dilaporkan memiliki jabatan strategis di sejumlah perusahaan pertambangan, termasuk Osman Sapta Oedang, Dewan penasihan Tim Kampanye Nasional Jokowi - Ma\'ruf yang memiliki kaitan dengan perusahaan PT Total Orbit, serta Haji Isam yang pernah menjadi Wakil Bendahara TKN Jokowi - Maruf, yang juga dikenal sebagai salah satu pengusaha batu bara yang sukses dan disegani di Indonesia. Di kubu 02, Prabowo Subianto tercatat sebagai pemilik Nusantara Energy Resources yang menaungi tujuh anak perusahaan. Sandiaga Uno tercatat sebagai pemilik PT Saratoga Investama Sedaya yang memiliki perusahaan tambang yang pernah merengut korban jiwa dan PT Adaro Energy yang memiliki saham di PLTU Batang. Badan Pemenangan Nasional (BPN) juga memiliki orang-orang yang memiliki perusahaan yang bergerak di perusahaan pertambangan. Presiden Joko Widodo pernah meluncurkan proyek 35 ribu Mega Watt listrik untuk Indonesia, yang menurut film tersebut berarti setidaknya akan menguntungkan 10 perusahaan pertambangan batu bara yang dimiliki jaringan politisi dan pengusaha tersebut. Awal April 2019, sebuah lembaga non-profit dunia, Global Witness mengeluarkan laporan investigasi yang menunjukkan Sandiaga Uno telah memperoleh keuntungan dari sejumlah pembayaran mencurigakan dari sebuah perusahaan batu bara Indonesia ke perusahaan lain, dengan nilai mencapai US$ 43 juta atau lebih dari Rp 600 miliar. Sebagaimana dikutip dari situs berita online ABC, pemutaran film Sexy Killers yang diselenggarakan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia di University Melbourne diadakan diskusi. https://twitter.com/Dandhy_Laksono/status/1116554464842792963?s=19 Sebagai pembicara adalah kandidat doktor di bidang hukum Lilis Mulyani dan Dr Richard Chauvel dari Asia Institute di University Melbourne, dengan moderator Max Walden yang juga sedang mengambil S3 di bidang hukum. https://twitter.com/sweethellena/status/1116477846308868096?s=19 Menurut Dr Richard yang menarik dari dokumenter ini adalah aspek ekonomi politik yang juga ditemukan dan terjadi di kalangan politisi Australia. \"Industri batu bara ini memiliki jaringan antara Jokowi dan Prabowo dan saya menduga ini melibatkan jaringan dengan semua partai politik, sama seperti di Australia,\" ujarnya merujuk pada perdebatan di perpolitikan Australia soal perubahan cuaca dan pertambangan di kawasan Adani, Queensland. Sementara menurut Lilis, jika dilihat dari debat calon presiden yang pernah membahas soal lubang bekas pertambangan, sepertinya tidak terlihat adanya komitmen dari kedua pihak. \"Kalau dari visi misi beberapa partai, memang komitmen soal pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam sangat kurang, tidak dibicarakan mendalam,\" jelasnya. Ia juga menambahkan bisa jadi mereka berseberangan untuk mendapat kursi kepemimpinan, \"tetapi dari fakta yang kita lihat, ada kesepakatan di belakang panggung.\" Profesor Vedi Hadiz dari University of Melbourne juga datang ke acara pemutaran film dan diskusi tersebut, dan ia mengatakan film ini menjadi indikator bahwa pilihan kita di pemilu mendatang belum tentu membuat perubahan. \"Pertanyaannya bagi kita apakah kemenangan dari salah satu koalisi politik ini akan berdampak dan mengubah rakyat?\" \"Apakah yang satu lebih baik dari yang lainnya?\" tambahnya. (*)
Tags :
Kategori :

Terkait