LONDON – Perdana Menteri Inggris Theresa May mengumumkan bahwa pada 7 Juni mengundurkan diri dari jabatannya. Keputusan itu dinilai semakin memperdalam krisis Brexit yang hingga saat ini belum menemui kesepakatan.
Mundurnya May juga menimbulkan pertanyaan apakah penggantinya akan lebih tegas menginginkan Brexit, yang meningkatkan kemungkinan konfrontasi dengan Uni Eropa (UE). Namun, pemilihan cepat parlemen tak dapat diprediksi kapan hendak dilakukan.
May tak hanya mengundurkan diri sebagai perdana menteri, tetapi juga pemimpin Partai Konservatif. Dalam pidato pengumuman ini, ia terlihat sangat emosional, seiring dengan usahanya menahan air mata.
“Saya akan meninggalkan pekerjaan yang menjadi kehormatan hidup saya. Saya melakukannya tanpa niat yang buruk, tetapi dengan rasa terima kasih yang luar biasa untuk melayani negara yang saya cintai” ujar May dalam pengumuman pengunduran dirinya pada Jumat (24/5).
Perempuan berusia 62 tahun itu telah menghadapi kegagalan untuk menemui kesepakatan Brexit, yang tak kunjung diratifkasi oleh Parlemen Inggris. May tidak dapat memenuhi janjinya untuk memimpin negaranya keluar dari UE setelah kekacauan pemungutan suara pada 2016, membuat Inggris memutuskan keluar dari keanggotaan blok Eropa tersebut.
“Ini akan selalu menjadi penyesalan saya yang mendalam bahwa saya belum dapat memberikan Brexit,” ujar May.
May berharap, penggantinya dapat menemukan konsensus untuk menghormati hasil referendum 2016 atas Brexit. Kepergian May memberikan banyak warisan pada penerusnya atas negara yang sangat terpecah, serta elite politik menemui jalan buntu tentang bagaimana, kapan, dan apakah Inggris akan meninggalkan UE.
Boris Johnson disebut sebagai calon pengganti May yang paling potensial dan setidaknya mendapat suara 40 persen untuk menduduki jabatan tertinggi pemerintahan Inggris. Selain itu, ada Dominic Raab, salah satu pendukung utama Brexit dan memiliki peluang sebanyak 14 persen.
Kemudian di urutan berikutnya calon pengganti May adalah Menteri Lingkungan Michael Gove, lalu mantan kepala House of Commons Andrea Leadsom, serta Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt yang masing-masing memiliki peluang tujuh persen.
Menteri Pertahanan Penny Mordaunt dan Menteri Pembangunan Internasional Rory Stewart yang masing-masing memiliki peluang empat persen, dan terakhir ada Menteri Dalam Negeri Sajid Javid dengan peluang sebanyak tiga persen.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah Indonesia memahami keputusan mundurnya Theresa May sebagai Perdana Menteri Inggris, di tengah proses negara tersebut keluar dari Uni Eropa (Brexit).
“Kita pahami keputusan PM Theresa May di saat yang sulit ini,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir.
Arrmanatha mengatakan, bahwa di bawah kepemimpinan May kerja sama strategis Indonesia dan Inggris semakin erat. Terlebih pada tahun ini, Indonesia dan Inggris merayakan 70 tahun hubungan diplomatik.
“Indonesia siap bekerja sama erat dengan perdana menteri Inggris yang akan datang untuk terus meningkatkan kerja sama strategis kedua negara seperti di bidang ekonomi, pendidikan, lingkungan hidup, maritim, ekonomi kreatif hingga pertukaran budaya,” pungksanya. (der/afp/fin)