Terkait Kasus Nenek Curi Beras, Begini Kata Pakar Hukum Pidana

Sabtu 06-07-2019,10:00 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Pakar hukum pidana sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Gunung Jati (UGJ) Cirebon Prof DR Ibnu Artadi angkat bicara mengenai heboh kasus seorang ibu lanjut usia yang tertangkap basah melakukan pencurian di Pasar Celancang, Kamis (4/7). Menurutnya, polisi harusnya menindaklanjuti laporan warga dan tidak melepaskan pelaku begitu saja. Dikatakan Ibnu, langkah aparat kepolisian yang tidak memproses hukum pelaku pencurian merupakan sebuah kekeliruan dalam konteks penegakan hukum. “Kejahatan pencurian itu termasuk delik biasa, harusnya polisi menindaklanjuti ketika menerima laporan dari warga,” ujar Ibnu. Alasannya, karena tindak pidana pencurian bukan termasuk delik aduan, polisi harusnya dapat melakukan penyelidikan meskipun korban telah memaafkan dan tidak membuat aduan. “Laporan atau aduan bisa dari siapapun, dan tidak harus menunggu korban membuat laporan. Harusnya polisi proaktif, ditindaklanjuti apakah betul terjadi. Kemudian mencari alat bukti yang ada,” tutur alumnus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang tersebut. Baca: https://www.radarcirebon.com/heboh-nenek-curi-beras-sekarung-viral-ke-mana-mana-pemilik-kios-ngaku-gak-tega.html https://www.radarcirebon.com/sang-nenek-pencuri-beras-diserahkan-ke-keluarga-di-majalengka.html https://www.radarcirebon.com/aksi-nenek-curi-beras-terekam-cctv-toko.html https://www.radarcirebon.com/nenek-pencuri-beras-ternyata-orang-lama-sering-mencuri-sembako.html Ibnu menegaskan, faktor usia yang sudah tua tidak serta merta menjadi pembenar bagi polisi menggunakan kewenangan diskresi. Sebab, sebagai penegak hukum, polisi selayaknya mempertimbangkan efek negatif yang dapat ditimbulkan ketika sebuah perkara pidana tidak dilanjutkan ke meja hijau. “Polisi itu memang punya wewenang diskresi, tetapi tidak dilepaskan begitu saja. Dan apakah orang itu memang seharusnya diberikan maaf atau tidak. Korban kan bisa saja memaafkan, tapi dia tidak tahu kalau (kondisi pelaku yang sudah tua, red) itu jadi modus operandi dan kejahatan yg sudah menjadi kebiasaan,” tutur Ibnu. Ia mencontohkan, dalam proses penegakan hukum di negara maju, aparat kepolisian memang memberikan diskresi kepada pelaku kejahatan ringan yang telah mencapai usia tertentu. Namun, sanksi lain tetap diberikan. Seperti misalnya dengan menerapkan kerja sosial dan tidak melepaskan begitu saja. “Artinya ada moral and deterren effect yaitu untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat dan mencegah masyarakat melakukan hal yang sama. Termasuk juga sebagai efek jera,” terang Ibnu. Ia pun merasa aneh ketika ada fakta dari para saksi jika pelaku diketahui telah berulang kali melakukan perbuatannya, namun tidak dilakukan proses hukum lebih lanjut. Hal itu ia nilai berpotensi akan menyebabkan terjadinya kasus serupa di kemudian hari. “Sangat disayangkan karena akan membawa korban bagi masyarakat atau pedagang yang lain,” paparnya. Lebih lanjut, jika dilakukan penyelidikan, maka polisi akan mengetahui secara pasti duduk perkara dan tidak hanya terjebak pada satu pertimbangan, yakni telah berusia senja. Sebab, fisik seseorang bisa saja menjadi kedok untuk memuluskan aksi jahatnya. “Kadang-kadang kan fisik itu untuk mengelabui. Supaya orang merasa iba. Itu bisa diketahui dalam penyelidikan. Kemudian apakah betul sekedar untuk makan. Kalau untuk makan saja ya harus dilepaskan. Tapi kalau orientasi untuk mencari untung atau kebiasaan melakukan hal tersebut, apalagi untuk mempermudah hidup dengan cara tak benar, harus dilakukan penyelidikan,” jelasnya. “Termasuk apakah benar dia sendirian dan lain sebagainya. Tapi sekali lagi, titik awalnya harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu terhadap kasus itu, untuk mengetahui ada apa di balik semua itu. Apalagi kalau sampai ketahuan, walaupun sendirian, ibu-ibu sekalipun, kalau punya kebiasaan mencuri dan sudah berkali-kali melakukan, itu harus dilakukan penegakan hukum. Tidak serta merta diskresi,” tambah Ibnu. Ia mencontohkan, seperti kasus Nenek Minah yang mencuri 3 buah kakao di Banyumas, Jawa Tengah. Menurutnya, memang harus dilakukan diskresi karena hanya untuk bertahan hidup. Hal itu juga berlaku dalam kasus pencurian kayu di hutan. Jika hanya untuk konsumsi pribadi, itu tidak menjadi persoalan. Sebab, dalam Undang-undang Lingkungan Hidup juga dijelaskan bahwa masyarakat sekitar boleh menikmati hasil hutan itu, tetapi sekedar untuk kebutuhan pribadi. “Termasuk ibu (pelaku pencurian, red) ini, jangan-jangan hasil curiannya dijual. Artinya bukan hanya untuk kebutuhan hidup,” tutur Ibnu. Ibnu menambahkan, fakta yang disampaikan para korban dan saksi bahwa pelaku telah beberapa kali melakukan perbuatannya, berarti sifat melawan hukumnya termasuk kategori berbahaya. Ia menjelaskan, ukuran untuk dapat memaafkan atau tidak pelaku ada dua. Yakni sifat melawan hukumnya dan berbahayanya perbuatan. “Sifat melawan hukumnya itu artinya sering atau tidak dan tingkat berbahayanya itu perbuatan seperti apa. Kalau sudah sering melakukan kejahatan itu tidak bisa dilakukan diskresi,” kata Ibnu. (day)

Tags :
Kategori :

Terkait