Dalam serangan balas dendam terhadap desa saingan di provinsi Hela, Papua Nugini, telah terjadi pembantaian terhadap setidaknya 20 orang, termasuk anak-anak dan wanita hamil.
Kepolisian provinsi mengatakan, kekerasan itu menjadi babak baru dalam serangan antar suku di daerah yang kini tengah mengalami ketegangan sehubungan politik dan ladang minyak tersebut. Perdana Menteri James Marape menjanjikan hukuman mati bagi pelaku pembantaian.
Setidaknya 20 orang, termasuk wanita hamil dan anak-anak tewas terbunuh dalam penyerbuan dan pembantaian balasan oleh penduduk desa di Papua Nugini. Laporan ini menurut berita dan juru bicara kepolisian di negara kepulauan Pasifik tersebut.
\"Perkelahian dimulai ketika enam orang dijadikan target dan dibunuh saat kembali dari sebuah upacara pada hari Sabtu (6/7) di dataran tinggi tengah negara itu\", ujar Teddy Augqi, kepala inspektur polisi untuk Provinsi Hela, kepada The Post-Courier, sebuah surat kabar di Papua Nugini.
\"Kerabat dari mereka yang tewas kemudian melakukan pembalasan dendam\", kata Inspektur Augwi.
Ada bebarapa laporan yang bertentangan tentang berapa jumlah sebenarnya, yang berasal dari komunitas saingan.
Seorang juru bicara kepolisian, Dominic Kakas, mengatakan kepada The New York Times bahwa 16 wanita dan anak-anak, termasuk dua wanita hamil, tewas dalam serangan balas dendam itu.
Delapan anak dan delapan wanita tewas dalam pembantaian tersebut, menurut Philip Pimua, seorang pekerja kesehatan masyarakat yang berada di desa Karida ketika pembantaian itu terjadi, dalam wawancara telepon dengan The Times. Seorang juru bicara polisi lainnya, Thomas Levongo, berbicara kepada Radio New Zealand, memberikan jumlah korban yang sedikit lebih rendah, mengatakan 10 wanita dan lima anak telah tewas terbunuh.
Masih belum jelas juga kapan serangan balas dendam itu terjadi. Inspektur Augqi mengatakan serangan itu terjadi pada hari Minggu pagi, sedangkan Pimua mengatakan serangan terjadi pada hari Senin.
Philip Undialu, gubernur Provinsi Hela, mengatakan serangan itu telah “bereskalasi menjadi pembantaian terhadap anak-anak dan wanita hamil,” menurut Australian Broadcasting Corporation(ABC).
Komisaris polisi, Francis Okura, menyebut serangan balas dendam itu “tindak kriminal yang tidak bisa dipercaya, tidak terpikirkan dan harus diatasi dengan keras dan segera,” menurut sebuah pernyataan yang diberikan kepada The Times. Ia menambahkan bahwa seorang petugas militer dan tim kepolisian sedang mencari para pembunuh dan bekerja untuk mencegah kekerasan lanjutan.
Inspektur Augwi menambahkan, kekerasan itu mewakili babak baru dalam kekerasan komunitas. “Ini bukanlah perselisihan antar suku di mana pihak yang bertikai berhadapan satu sama lain di lapangan,” ujarnya kepada The Post-Courier. “Ini adalah pertempuran ala gerilya, yang artinya mereka bermain petak umpet lalu menyergap musuh-musuh mereka.”
Kekerasan antar komunitas telah tercatat selama puluhan tahun di Papua Nugini, tapi telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir di wilayah tempat kekerasan terbaru ini terjadi, di tengah ketegangan akibat politik dan pengembangan ladang minyak.
Papua Nugini, yang berada di utara Australia dan berbagi perbatasan dengan Indonesia, dikenal karena keberagaman budaya dan lingkungannya, dengan ratusan suku etnis, yang tinggal di dataran tinggi yang terbentang luas.
Kebanyakan populasi negara ini bekerja di bidang pertanian. Sementara ekonomi negara tengah tumbuh, sekitar 37 persen masyarakatnnya hidup di bawah garis kemiskinan, dan negara ini menerima bantuan dalam jumlah yang sangat besar dari Australia. Papua Nugini mendapatkan kemerdekaannya dari Australia pada tahun 1975.
Seiring kekerasan terbaru terjadi, Pimua, seorang pekerja kesehatan, bangun pada pagi hari saat serangan balas dendam itu terjadi akibat suara letusan senapan dan rumah-rumah yang terbakar, ujarnya. Pimua kemudian bersembunyi di semak belukar, dan saat ia kembali ia melihat tubuh-tubuh yang sudah dimutilasi. Serangan itu terjadi selama sekitar 30 menit, ujarnya, yang melibatkan penggunaan pisau dan pistol.
Ia dan penduduk desa lainnya membungkus jenazah-jenazah itu dengan jaring nyambuk sebelum melarikan diri dari desa tersebut, meninggalkan barang-barang mereka, lanjutnya. Foto-foto yang diunggah ke Facebook menunjukkan sisa jasad manusia dibungkus jaring yang diikatkan ke tongkat kayu.
Pimua mengatakan ia kembali ke Karida pada hari Rabu dengan pendampingan polisi untuk mengubur pada korban.
“Musuh-musuh mencari satu sama lain, bersembunyi di balik semak,” ujarnya.
Pembantaian itu terjadi di distrik yang diwakili oleh James Marape, perdana menteri Papua Nugini yang baru terpilih. Hari ketika ia mengetahui pembantaian itu adalah hari yang paling menyedihkan dalam hidupnya, tulisnya dalam sebuah unggahan Facebook pada hari Selasa.
Marape mengatakan, ia siap menggunakan hukuman mati terhadap “semua orang yang memiliki senapan dan membunuh dan bersembunyi di balik topeng komunitas,” tulisnya. “Saya akan mendatangi Anda.” (*)