CIREBON-Saat melantik Dewan Pendidikan Jawa Barat, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil akan mengevaluasi sistem pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Bahkan bukan tidak mungkin SMK yang tidak produktif mencetak lulusan siap bekerja, akan dibubarkan.
Namun wacana tersebut tidak serta merta diterima sekolah. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMKN 1 Kota Cirebon H Joko Susanto SPd MMPd meyakini pernyataan gubernur hanya merupakan wacana saja, atau bisa dikatakan hak yang tidak mungkin dilakukan. Paling tidak dalam waktu dekat ini.
Pasalnya menurut Joko, lulusan dari SMKN 1 selama ini tidak ada yang menganggur. Selama anak didiknya belajar di sekolah, selama itu pula disiapkan untuk langsung bisa bekerja setelah lulus nantinya. \"Kami sudah bekerjasama dengan perusahaan besar dan lulusan kami bisa terserap,\" ujarnya kepada Radar Cirebon.
Selain itu, bagi lulusan juga dibantu untuk mencari kerja sesuai dengan kompetensinya. Diantaranya ada Bursa Kerja Khusus (BKK), lembaga yang dibentuk di sekolah, sebagai unit pelaksana yang memberikan pelayanan dan informasi lowongan kerja, pelaksana pemasaran, penyaluran dan penempatan tenaga kerja, merupakan mitra Dinas Tenaga Kerja (Disnaker).
\"Banyak juga prestasi akademis dan non akademis yang kami raih. Juga dibuktikan dengan ribuan siswa baru yang mendaftar ke SMKN 1. Jadi kami kurang setuju dengan wacana pembubaran, harus dikaji dulu lah,\" tandasnya.
Belum lama ini, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Cirebon Agus Sukmanjaya S Sos, menyebutkan, berdasarkan data BPS pada akhir 2018, angka pengangguran di Kota Cirebon mencapai 9,06 persen dari jumlah angkatan kerja, yang mencapai sekitar 150 ribu orang.
Angka pengangguran pada 2018 itu turun dari 2017 lalu yang mencapai 9,29 persen. Namun meski demikian, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan angka pengangguran di tingkat provinsi maupun nasional.
Dari jumlah tersebut, pengangguran didomanasi lulusan SMA/SMK. Mengacu pada klasifikasi pendidikan, tingkat pengangguran terbuka tertinggi ada di lulusan SMK dan sarjana. Data Disnaker per Maret 2016, jumlah pengangguran tingkat SMA 591 orang, SMK 2.331 orang dan sarjana 4.204 orang.
Mengacu pada beberapa indikasi, disimpulkan bahwa di tingkat sarjan pengangguran tinggi karena ketatnya level persaingan. Sementara di SMK pengangguran disebabkan kemampuan yang sifatnya spesifik. Sehingga siswa tidak fleksibel. Dan lapangan kerjanya tidak tersedia di Kota Cirebon.
Berdasarkan data disnaker, komposisi lapangan kerja dan pencari kerja saat ini cukup seimbang. Sedikitnya 60 persen angkatan kerja bekerja di dalam kota dan 40 persen sisanya merantau. Jawa Barat menempati peringkat pertama sebagai provinsi yang paling banyak memiliki tingkat pengangguran terbuka (TPT) secara nasional, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Februari 2019. Dibandingkan data BPS per Agustus 2018, Jawa Barat saat itu menempati posisi kedua setelah Banten.
Kepala BPS Kota Cirebon Suhariyanto mengatakan TPT Jabar mencapai 7,73 persen. Jumlah tersebut sebenarnya lebih rendah dibandingkan surveI sebelumnya sebesar 8,17 persen. Meskipun demikian, secara peringkat, kini Jawa Barat menjadi provinsi dengan TPT tertinggi.
Sementara, Banten yang sebelumnya menempati posisi pertama dengan persentase sebesar 8,52 persen, kini berada di posisi kedua sebesar 7,58 persen. Provinsi dengan TPT terendah ditempati oleh Bali sebesar 1,19 persen. Angka tersebut semakin rendah bila dibandingkan data BPS sebelumnya sebesar 1,37 persen.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Margo Yuwono, mengatakan, tinginya TPT di Jabar dipengaruhi oleh kondisi industri. Selama ini, Jawa Barat dikenal sebagai provinsi dengan jumlah industri yang tinggi. Hal itu memacu penduduk di luar Jawa Barat untuk pindah ke provinsi ini. (gus)