Mengenal lebih dekat Bhumi Segandu

Jumat 26-07-2019,15:52 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

SETIAP tahun acara penghargaan Tembang Pantura Awards selalu dihadirkan sebagai bentuk apresiasi terhadap industri musik tarling di wilayah Pantura Jawa Barat.Di tahun ini, Tembang Pantura Awards digelar pada Jumat  26 Juli 2019 pukul 20.00 WIB Live di RCTV, channel 34, juga bisa disaksikan melalui satelit ninmedia atau aplikasi KUGO. Ada perbedaan antara Tembang Pantura Awards tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni tema yang diusungnya. Kali ini, acara penghargaan tahunan tersebut mengusung konsep spektakuler yaitu dengan konsep Bhumi Segandung. Apa itu konsep Bhumi Segandung?

Ia adalah sejenis pupuh, guguritan yang memiliki makna mendalam biasanya ditembangkan pada malam hari oleh pujangga, maha guru, atau pun seorang ibu yang sedang memberi wejangan kepada anaknya.

Kidung bhumi segandu merupakan pepeling hidup masyarakat Cirebon-Dermayon dengan memakai varian tafsir makna lahiriah, berisi tentang falsafah hidup, dawuh Kanjeng Sunan Gunung Jati. Konsep ajaran kidung bumi segandu bisa dipadukan dengan nadhoman maca patekah(macapat), membaca surat Al-fatihah sebagai purwa (awalan) melantunkannya.

Kidung bhumi segandu kini diadopsi oleh para seniman sebagai produk budaya. Kidung kemudian diejawantahkan oleh para sinden dalam pertunjukan wayang, selametan kelahiran, khitanan, dan pernikahan yang dilantunkan dengan gitar dan seruling.

Berikut adalah contoh kidung bhumi segandu pepekem Sunan Gunung Jati Bismillah/purwaning wiwit/liwang liwung randu kurung/ gunung sembung/ gunung jati gunung amparan/ ingkang sejatining/ sejajare lawang sanga/kang jageni tamengana pasangan damar/ panggone lingging saking kursi gading gilang kencana.(Bismillah sebagai pembuka, belantara Gunung Sembung, Gunung Amparan Jati, yang sejati sejajar pintu sembilan simbol para wali, sebagai cahaya penerang yang menduduki singgasana kursi gading gilang kencana).

Sangue syahadat iman/tekane syahadat sejati/kang jembarane liar/ byar suminar cahaya damar/ kang dadia pepadang ing Caruban Nagari/ manunggaling kaula gusti/cukup aub ora nana papa.(Bekalnya syahadat iman, datangnya syahadat sejati, yang menyebar sebagai cahaya penerang di Caruban Nagari, bersatunya rakyat dan pemimpin, dicukupkan tidak kurang apa).

Ingsun titip tajug lan fakir miskin/ sumangga angger pasangan damar/penerus/ lampah ira sing bijaksana/ niatana tumindak ati sing ikhlas/tekad kang nyata/dadia panutun ning pepada/ kairing doa pangestu/dadia sinatria ingkang mayungi nagari puseur bumi. (Saya menitipkan tajug dan fakir miskin, silahkan generasi penerus meneruskan perjuangan, perbuatanmu harus bijaksana/ niatkan tindakan dengan ikhlas/ tekad yang nyata/jadia panutan dengan sesama/ teriring doa restu/ jadilah manusia yang memayungi negara sebagai pusat bumi).

Duh gusti/ mugia pasangan damar/ angsal  siraman banyu suci/ sucine banyu saking ghaibe pangeran/ ugi dipun paringi barokah/ selamet lahir batin dunia wal akherat amin ya robarl alamin.(Ya Allah semoga pancaran cahaya menjadi penyiram air suci dari ghaibnya Tuhan, dan juga semoga mendapat barokah, selamat lahir batin dunia sampai akherat amin ya robal alamin).

Bhumi segandu sebagai babakan cerita lahirnya manusia Cirebon-Dermayon ke muka bumi, berbuat kebijakan, menjelma membentuk peradaban. Menurut Kusnaka Adimiharja di daerah utara Tatar Pasundan, orang-orang Sunda sebagai penghuni awal hutan, kemudian menerima cara hidup baru. Mereka menetap dan meleburkan diri melakukan adaptasi dan akulturasi budaya yang sekarang terwujud semacam subkultur dari kebudayaan Sunda, kemudian mengkristal sebagai subkultur baru budaya Sunda-Jawa Pesisiran (Budaya Cirebon-Dermayon).

Hal ini kemudian bisa terlihat dengan dialek bahasa yang berbeda. Namun, Kusnaka Adimiharja menambahkan perubahan yang mendasar dalam aspek lingkungan alam ternyata tidak selalu merubah secara keseluruhan pandangan dan nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan sebelumnya, di kalangan orang-orang Sunda sendiri sekarang masih jelas tampak sikap yang mencerminkan karakteristik kebudayaan ladang.

Risalah Budaya Jauh sebelum datangnya orang-orang Belanda pembukaan hutan di daerah utara tanah Pasundan diperkirakan sudah dilakukan pada abad XVII yang dilakukan oleh orang-orang Jawa, hal ini bisa diperkuat dengan penuturan F. De Haan (1910), yang mengatakan betapa besar perubahan lingkungan di Tatar Pasundan sepanjang abad XVII sampai abad XIX berdasar dokumen-dokumen  Gubernur Jendral van Inhof bagian utara Tatar Pasundan yaitu di Muara Bantaran Jati (Nagari Caruban) dan Cimanuk (Indramayu) sudah mulai pembabakan hutan secara intensif abad XVII, atas gagasan para tetua dari Mataram untuk membuka jalur logistik menyerang VOC Batavia.

Tome Pires dalam The Summa Oriental menambahkan bahwa masyarakat di utara Tatar Pasundan wilayah Cimanuk dan Bantaran Jati pada 1513 sudah beragama Islam. Palabuhan Pasundan lainnya seperti Banten, Pontang, Chequide (Cikande), Tamgaram (Tanggerang), dan Sunda Kelapa sudah banyak disinggahi pedagang dari Malaka, Palembang, Fansyur, Tanjungpura, dan daerah-daerah lainnya.

Itulah sebabnya menusia Cirebon-Dermayon memiliki karekter budaya tersendiri, kerap tuturkan kearifan tinutur kultur bumi segandubahwa sangu urip dudu emas dudu pari, tetapi guna kaya purun ingkang den antepi nuhoni trah utama.  (Bekal hidup bukan pada gemerlap harta emas mutu manikam, tetapi pada kekayaan akal, kalbu dan orioentasi istiqamah menjadi manusia utama). Apa itu menusia utama? Sunan Gunung Jati menyebutnya menusia yang bisa dititipi tajug lan fakir miskin. Dalam ruang kosmis yang lebih mendalam terhubung dengan Tuhan dan menyayangi sesama manusia.

Tandi Skober sendiri melihat bahwa hal ini bisa nampak dalam  the eloquency of silence,  kefasihan dalam kebisuan dinding sejarah peteng Cirebon-Dermayon. Sesuatu yang gelap heneng hening eling yang membuat manusia tertunduk dalam diam. Sirdata Gautama pun demikian ketika diam, maka pencerahan akan didapat, dalam diam suara risau akan mengalir hingga jauh. Walau pun dalam diam, diam-diam kita menyadari bahwa republik ini selalu saja ada rezim kekuasaan yang dibangun berdasar kartel-kartel politik yang menjijikan yang di dalamnya ada banyak kekuasaan oligarki bersifat holistic.

Manunggaling kawula gusti khas Cirebon-Dermayon yang memposisikan kawula dan gusti sebagai kesatuan substansional multi entik, suara kawula adalah suara gusti telah mengilhami teolog  abad pertengahan, Alcuin (735-804 lewat frasa bahwa Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan). Pada saat yang sama para teolog Korea mengembangkan konsep “minjung” (rakyat) sebagai pilar utama demokratisasi. “All political theology, should be no more and no less than folk political theology, political theology of the people.”

Artinya: Semua teologi politik seharusnya menjadi teologi politik rakyat dan teologi politik tentang rakyat. Pada temu-temu tertentu, manusia Cirebon-Dermayon kerap menjelma sebagai terub nagari (pelindung negara)Hal ini bisa terdekonstruksi melalui pengusiran Portugis dari Sunda Kelapa yang di ganti menjadi Jayakarta (Fathan Mubina) oleh Fathillah Khan.

Kini kidung bhumi segandu sayup-sayup terdengar kembali dalam pekat malam berbintang, mengingatkanku akan do’a emak setalah shalat malam “Mugia sira besuk uripe mulia cung, derajate sing duwur, keceluk lan manfaat, kanggo wong sejagat buana.” (Semoga kelak hidupmu mulia nak, punya derajat yang tinggi, menjadi orang terkenal dan bermanfaat bagi manusia sedunia). (*)

Tags :
Kategori :

Terkait