JAKARTA-RUU Pemilu hingga saat ini belum ada draf maupun naskah akademiknya. Meski begitu, sejumlah politisi mulai gerilya mengusulkan ide-idenya.
Sejumlah isu krusial menjadi perhatian utama. Salah satunya terkait sistem pemilu. Ada yang ingin sistem terbuka. Ada juga yang tertutup. Begitu pula dengan ambang batas parlemen. Sejumlah partai politik punya usulan tersendiri. Mulai 4 persen sampai 7 persen.
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin menegaskan, pihaknya sejak awal mengusulkan ambang batas parlemen alias parlementary treshold (PT) sebesar 7 persen. Tujuannya menciptakan kekuatan efektif di parlemen pendukung dan penyeimbang pemerintah. \"Kami ingin ada penyederhanaan parpol di parlemen yang kompatibel dengan presidensialisme. Yang terpenting adalah memperkuat sistem tersebut,\" ujar Zulfikar di Jakarta, Senin (8/6).
Dia optimistis kekuatan efektif yang mendukung dan penyeimbang pemerintah akan tercapai dengan menaikkan ambang batas parlemen dan keserentakan pemilu di tingkat nasional. Yaitu DPR RI, DPD RI, Presiden-Wakil Presiden.
Namun, untuk menciptakan kekuatan efektif tersebut tidak harus mengurangi jumlah partai politik melalui meningkatkan ambang batas parlemen. Tetapi memperkecil alokasi kursi per daerah pemilihan. “Kami berpikir dengan alokasi kursi per-dapil yang selama ini 3-10 kursi, itu mengandung ambang batas parlemen 7,5 persen,” ujarnya.
Karena itu, lanjutnya, Golkar mengusulkan alokasi kursi per dapil sebesar 3-8 kursi. Hal ini agar memberikan peluang yang sama dan lebih memunculkan kesetaraan parpol untuk bertarung dalam pemilu apabila district magnitude dibatasi.
Selain itu, pembahasan RUU Pemilu masih lama. Karena saat ini masing-masing fraksi baru menyerahkan pendapatnya terkait RUU tersebut. “Kalau sudah fix draf serta naskah akademiknya, akan dibawa ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dilakukan harmonisasi,\" imbuhnya.
Jika Baleg DPR setuju, maka dikembalikan ke Komisi II DPR. Selanjutnya Komisi II akan mengirimkan surat ke Pimpinan DPR untuk diagendakan ke Rapat Paripurna guna disahkan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. “Setelah itu dikirim ke Presiden. Kemudian Presiden membuat surat terkait kementerian mana saja yang akan mewakili membahas RUU tersebut. Prosedurnya masih panjang,\" ucapnya.
Dikataan Zulfikar, sistem pemilu proporsional tertutup dengan memilih partai dan nomor urut calon legislatif lebih cocok dengan keserentakan pemilu legislatif dan pemilu presiden-wakil presiden. \"Mengapa mengkaji sistem tertutup, karena MK sudah putuskan pemilu serentak konstitusional. Yaitu mutlak hanya di pusat. DPR RI, DPD RI, dan Presiden-Wakil Presiden berbarengan satu hari H pemilihan,\" tukasnya.
Ia mengatakan sistem tersebut lebih memudahkan bagi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Karena surat suara hanya satu. Yaitu pasangan calon presiden-wapres lalu di bawahnya logo partai yang mendukung.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Gerindra Sodik Mudjahid mengatakan, mayoritas kader partainya mendukung sistem politik proporsional terbuka dalam RUU Pemilu. Dia menjelaskan tiga poin argumentasi mendukung sistem proporsional terbuka. Pertama, lebih akomodatif terhadap kader partai yang menjadi tokoh masyarakat. Kedua, sistem tersebut lebih akomodatif dan menghargai suara rakyat atau pemilih dalam pemilu. Ketiga, pengalaman menunjukkan Partai tetap mempunyai kekuasaan dan kekuatan pengendalian. Karena calon adalah kader partai. (rh/fin)