JAKARTA - Pandemi Covid-19 mengakibatkan aktivitas ekonomi terganggu. Sebagian besar perusahaan terpaksa melakukan efisiensi. Ada pekerja yang dirumahkan. Ada pula yang di-PHK. Jumlahnya lebih dari 3 juta orang.
\"Akibat berhentinya roda perekonomian, ada saudara-saudara kita yang kehilangan pekerjaan. Di-PHK atau kehilangan pendapatan. Data di Kementerian Ketenagakerjaan tidak sedikit. Ada sekitar 3 juta lebih yang terdaftar,\" kata Menaker Ida Fauziah di Jakarta, Jumat (12/6).
Dia mengatakan, jumlah pekerja terdampak mungkin saja lebih banyak dari data yang dimiliki Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Karena masih ada individu terdampak yang belum melapor ke Kemnaker atau Dinas Ketenagakerjaan di daerah.
Data hingga 27 Mei 2020, Kemnaker mencatat 1.792.108 pekerja Indonesia dirumahkan atau terkena PHK sebagai dampak pandemi Covid-19. Rincian data yang telah diverifikasi dengan BPJS Ketenagakerjaan itu adalah 1.058.284 pekerja sektor formal dirumahkan. Kemudian, 380.221 pekerja formal terkena PHK. Selanjutnya, 318.959 pekerja sektor informal terdampak. Lalu, 34.179 calon pekerja migran gagal diberangkatkan serta 465 pemagang dipulangkan.
Menurutnya, baik pekerja maupun pengusaha tidak ingin kondisi seperti ini akan terus berlanjut. Tidak hanya Indonesia. Hampir seluruh negara mengalami hal yang sama. Khususnya berdampak kepada perekonomian.
\"Karena itu, saat ini tengah disiapkan normal baru. Tujuannya agar masyarakat dapat melakukan kegiatan produktif, namun aman dari Covid-19. PSBB (pembatasan sosial berskala besar) belum dicabut. Tetapi kegiatan sudah mulai disiapkan untuk masuk pada era adaptasi normal baru,\" imbuhnya.
Sementara itu, Peneliti Lembaga Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Rully Akbar menyatakan dalam riset terbarunya menemukan lima alasan kecemasan ekonomi melampaui kecemasan terpapar COVID-19. Antara lain meluasnya berita kisah sukses banyak negara yang mampu mengendalikan virus Corona walau vaksin belum ditemukan.
Sejumlah negara yang sukses itu diantaranya Selandia Baru, Jerman, Hong Kong, dan Korea Selatan. Walau vaksin belum tersedia, sudah ada contoh konkret negara yang sukses. Itu sudah cukup mengurangi kecemasan atas virus,\" kata Rully di Jakarta, Jumat (12/6).
Dia menyebut tiga sumber data untuk menggambarkan beralihnya bentuk kecemasan. Pertama, data Galup Poll (2020) yang merupakan lembaga survei opini publik di Amerika Serikat. Kedua, data dari VoxPopuli Center, lembaga opini publik Indonesia. Pada 26 Mei—1 Juni 2020, lembaga ini melakukan survei telepon atas 1.200 responden. Hasilnya 25,3 persen publik khawatir terpapar Corona. Namun, 67,4 persen publik khawatir kesulitan ekonomi atau takut kelaparan.
Ketiga, riset eksperimental yang dilakukan Denny J.A. dan Eriyanto (dosen UI) pada Maret—Juni 2020. \"Ini bukan survei opini publik. Melainkan riset eksperimental untuk menggali lebih detail kekhawatiran responden,\" jelasnya.
Terkait kecemasan ekonomi, yakni meluasnya kemampuan protokol kesehatan dalam mengurangi tingkat penyebaran Corona. Seperti Social distancing, mencuci tangan dan memakai masker. \"Tiga cara paling populer dalam protokol kesehatan itu pesan kuat walau belum ada vaksin. Manusia punya alat lain untuk melindungi diri,\" ucapnya.
Di sisi lain, tabungan ekonomi umumnya makin menipis. Makin lama berlakunya pembatasan sosial,, makin berkurang kemampuan ekonomi rumah tangga. Pada saat kecemasan atas terpapar virus Corona menurun, kecemasan atas kesulitan ekonomi meningkat. \"Jumlah warga yang secara konkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui warga yang terpapar virus Corona. Menaker melaporkan jumlah PHK ditambah yang dirumahkan hingga Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang,\" paparnya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga melaporkan jumlah yang di-PHK mencapai 7 juta orang. Hingga 11 Juni 2020, dari data Worldometer, yang terpapar virus Corona di Indonesia sekitar 35.000 orang. Sedangkan yang meninggal dunia sekitar 2.000 orang.
\"Jika dibandingkan yang terkena PHK dan dirumahkan dan terpapar virus Corona, yaitu 7 juta berbanding 35.000. Dengan kata lain, yang terpapar virus ekonomi 200 kali lebih banyak dibandingkan Corona. Wajar jika kecemasan atas kesulitan ekonomi memang lebih masif,\" terang Rully.
Hingga Juni 2020, grafik yang terpapar, apalagi yang meninggal karena Corona, sudah landai dan menurun. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di-PHK atau dirumahkan bertambah dari bulan ke bulan. \"Grafik ini, ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus Corona melemah. Sementara kecemasan virus ekonomi meningkat,\" pungkasnya. (rh/fin)