Pembahasan RUU Sisdiknas Masih Alot

Jumat 19-06-2020,14:30 WIB
Reporter : Leni Indarti Hasyim
Editor : Leni Indarti Hasyim

JAKARTA-Pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) belum juga rampung.

Sampai-sampai Komisi X DPR RI mengundang Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), Kamis (18/6).

Dalam rapat itu, BMPS memberi masukan, agar anak-anak yang dididik di sekolah negeri maupun swasta sama-sama anak bangsa. Idealnya, tak ada perlakuan yang berbeda antara negeri dan swasta. Titik krusialnya, ada di RUU Sisdiknas yang masih mencantumkan frasa sekolah swasta.

”Ini adalah masukan yang sangat bagus dari BMPS. Diharapkan ke depan dunia pendidikan kita semakin berkualitas. Kebetulan di Komisi X banyak juga anggotanya yang memiliki sekolah swasta. Jadi, sangat memahami masalah ini,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf saat meminpin rapat virtual dari ruang rapat Komisi X DPR RI Jakarta.

Hadir dalam rapat virtual tersebut Ketua Umum BMPS Saur Panjaitan dan Ketua BMPS DKI Jakarta Imam Parikesit. Saur mengatakan, ketika Pemerintah belum mampu mendirikan sekolah di daerah-daerah, maka swastalah yang membuka akses pendidikan bagi anak bangsa.

BMPS menyebut, Pasal 11 RUU Sisdiknas belum jelas siapa yang berwenang memberi akses pendidikan yang bermutu. BMPS mengutip Pasal 11 (1): Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Kemudian ayat (2): Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

2

Dua pasal ini dipersoalkan BMPS, karena belum jelas betul siapa yang menjadi domainnya, pemerintah, pemerintah daerah, atau yayasan.

Dalam dokumen tersebut, diketahui terdapat rencana peleburan mata pelajaran Pendidikan Agama dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Menanggapi hal itu, Anggota Komisi X DPR RI Prof Zainuddin Maliki mengatakan, permasalahan ini masih belum sampai kepada publik, hanya sebatas di lingkungan kementerian saja.

”Kalau ada ide seperti itu ya tentu itu tidak kontekstual dan itu ahistoris (berlawanan dengan sejarah). Artinya pemikiran seperti itu tidak memiliki akar budaya, akar kehidupan bangsa Indonesia yang religius,” tuturnya kepada wartawan.

Menurut Zainuddin, jika mata pelajaran Pendidikan Agama digabungkan dengan PKN, maka hal tersebut tidak mencerminkan budaya bangsa, di mana Indonesia diketahui sebagai bangsa yang religius.

Bahkan, ketika dirinya pergi ke Inggris dan mengunjungi SMA Trinity di London, Zainuddin mendapati bahwa pelajaran agama itu diajarkan di Inggris mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi.

Konsep pembelajaran seperti itu sebenarnya juga sama seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas. Jadi, mata pelajaran agama, siswa diajarkan sesuai dengan agama siswa itu sendiri.

”Misalnya, ada di madrasah, ada anak Katolik sekolah di madrasah itu harus diajarkan agama Katolik di situ walaupun dia hanya sendiri. Begitu juga sebaliknya, kalau ada orang Islam sekolah di sekolah Katolik, maka di sekolah itu harus mengajarkan agama Islam untuk siswa tersebut. Di Inggris seperti itu, bukunya masih saya simpan sampai sekarang,” tambahnya.

Ditegaskannya, karena isu peleburan mata pelajaran Pendidikan Agama dan PKN belum digulirkan belum menjadi konsumsi publik secara luas, dirinya meminta agar jangan muncul pemikiran seperti itu.

Tags :
Kategori :

Terkait