JAKARTA – Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) mewacanakan redenominasi terhadap rupiah. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. DPR RI meminta rencana tersebut ditunda. Alasannya masih banyak program yang menjadi prioritas. Termasuk penanganan pandemi COVID-19.
“Sebaiknya pemerintah saat ini fokus menangani pandemi COVID-19 dulu. Ada banyak permasalahan penting lain yang perlu dibenahi,” ujar anggota komisi XI DPR RI Anis Byarwati di Jakarta, Sabtu (11/7).
Anis mengakui Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Redenominasi Rupiah telah masuk dalam program legislasi nasional 2019-2024. Selain itu, redenominasi rupiah juga bukan wacana baru. Karena Bank Indonesia sudah merencanakannya sejak 2010.
Menurut Anis, meredenominasi rupiah memiliki risiko yang tidak kecil. Memang, ada manfaat bagi Indonesia jika redenominasi rupiah diterapkan. Pertama, sistem pencatatan keuangan di pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat menjadi begitu sederhana.
Penghitungan juga menjadi lebih mudah dan meminimalisir kesalahan dalam transaksi. Selain itu, citra rupiah terhadap mata uang negara lain juga akan naik. “Nilai tukar rupiah terhadap USD kuotasinya akan sama dengan mata uang di negara lain,” imbuhnya.
Namun, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan kenaikan harga di sejumlah sektor. Karena adanya pembulatan harga ke atas secara berlebihan. Risiko ini harus diantisipasi dengan adanya sosialisasi dan edukasi aktif terhadap masyarakat. “Untuk mengatasi risiko saat pelaksanaannya, diperlukan landasan hukum yang kuat dan dukungan masyarakat,” paparnya. Dengan memerhatikan risiko itu, wacana tersebut lebih baik ditunda.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) mewacanakan redenominasi terhadap rupiah. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Pemerintah menetapkan RUU Redenominasi Rupiah untuk masuk ke dalam rencana strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, selama ini redenominasi rupiah selalu menjadi fokus pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Karena itu, RUU Redenominasi Rupiah saat ini dimasukkan dalam jangka menengah, yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Sri Mulyani menambahkan, dimasukkannya RUU Redenominasi pada periode 2020-2024 untuk memberikan update kepada DPR tentang apa yang siap dan akan dibahas legislasi. Kemenkeu mencatat ada dua alasan mengapa penyederhanaan nilai mata uang rupiah harus dilakukan.
Pertama, untuk menimbulkan efisiensi berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang dan jasa karena sederhananya jumlah digit rupiah. Kedua, untuk menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN.
Namun, Indonesia disebut telah kehilangan momentum melakukan redenominasi rupiah. Seharusnya hal itu bisa dilakukan sesuai perumusan yang dilakukan pada 2010-2013.
Ekonom Universitas Indonesia (UI), Telisa Falianty yang menjadi salah satu Tim Perumus Kebijakan Redenominasi Mata Uang pada 2010, menyatakan saat itu, pemerintah ragu melakukan redenominas. Akibatnya, RUU Redenominasi Mata Uang untuk menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terhambat.
Pada waktu itu, lanjutnya, kondisi ekonomi sedang stabil. Menurutnya, apabila redenominasi rupiah dilakukan dalam waktu 2020-2024, redenominasi tidak tepat dilakukan. “Jika dilakukan 2010-2013, pada tahun ini Indonesia sudah menggunakan mata uang baru,” ujar Telisa.(rh/fin)