JAKARTA – Kritik kembali dilontarkan DPR soal isi RUU Cipta Kerja yang menghilangkan peran DPR dalam penentuan besaran Tarif Dasar Listrik (TDL) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
Sebelumnya pada Pasal 34, UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan disebutkan, bahwa Pemerintah berwenang menetapkan TDL setelah disetujui DPR. Begitu juga dalam hal penentuan RUKN, Pemerintah dapat menetapkan RUKN setelah berkonsultasi dengan DPR.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menjelaskan, dalam RUU Cipta Kerja atau RUU Omnibus Law, ketentuan persetujuan DPR dihapus. Pemerintah diberi kewenangan penuh menetapkan TDL secara berbeda di setiap wilayah, serta menetapkan RUKN tanpa persetujuan atau konsultasi dengan DPR.
“PKS menilai RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah mencabut otoritas rakyat atas listrik. Khususnya dalam hal penentuan tarif. Menurut RUU ini, bila kelak disahkan, 100 persen proses terkait tarif listrik, akan ditentukan oleh Pemerintah Pusat,” jelas Mulyanto di Jakarta, Jumat (21/8).
Hal lain yang disorot dari RUU Omnibus Law ini adalah dicabutnya peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan listrik daerah. Semua akan diatur Pemerintah Pusat. Menurutnya, pemerintah daerah dan DPRD tidak lagi berwenang menentukan TDL serta rencana kerja usaha ketenagalistrikan daerah.
“Melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini terjadi sentralisasi penyelenggaraan ketenagalistrikan. Soal tarif listrik, soal RUKN serta soal penyelenggaraan ketenagalistrikan seluruhnya dipusatkan pada Pemerintah Pusat tanpa mengikutsertakan DPR maupun Pemerintah Daerah,” papar Mulyanto.
Pemusatan kekuasaan kelistrikan di tangan pemerintah pusat seperti ini, lanjut Mulyanto, betul akan menutup katup demokratisasi soal kelistrikan. Padahal demokratisasi mensyaratkan proses chek and balances dan otonomi antar unsur eksekutif, legislatif dan daerah.
“Prinsip demokrasi dan desentralisasi adalah berbagi kekuasaan, mengingat spent of controll (rentang kendali) Indonesia. Baik secara sektoral maupun teritorial yang demikian luas dari Sabang hingga Merauke,” imbuhnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan juga menilai ada kecenderungan TDL akan terus naik. “Karena kontribusi Independent Power Producer (IPP) atau perusahaan pembangkit listrik swasta yang semakin dominan. Belum lagi adanya klausul TOP (take or pay) dari IPP. Dimana dipakai atau tidak strum harus dibayar PLN sesuai kontrak,” jelasnya.
Saat ini, ketika permintaan listrik merosot. Hal ini karena skema TOP. Yakni, PLN tetap harus membayar listrik yang tidak dipakainya. Harga dan volume tidak pernah turun, meski ekses kelebihan listrik tersebut tidak digunakan PLN.
:Seluruh beban ditanggung PLN. Ujung-ujungnya harga jual listrik tersebut dibebankan kepada rakyat atau disubsidi negara. Di satu sisi terjadi liberalisasi kelistrikan. Dimana tidak ada pembatasan saham asing di sisi pembangkit. Sementara di sisi lain kewenangan pemerintah daerah dan wakil rakyat untuk berperan serta dalam sektor ini dipangkas habis,” tukasnya.
Terpisah, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan parlemen harus melakukan terobosan agar bisa meringankan beban masyarakat yang terdampak pandemik COVID-19.
“Di tengah kekhawatiran rakyat dan beban ekonomi yang bertambah, parlemen harus menunjukkan kita tidak berhenti serta terus bekerja untuk rakyat,” kata Puan di Jakarta, Jumat (21/8).
Politisi PDIP itu mengatakan anggota parlemen harus semakin cepat menghasilkan Undang-Undang yang dapat membantu mengatasi dampak pandemi COVID-19. Terutama tetap peka dalam menangkap aspirasi rakyat. (khf/fin/rh)