JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu menangkap sejumlah oknum Polisi yang meminta paksa sejumlah proyek kepada para kepala dinas. Ini terjadi di daerah. Indonesia Police Watch (IPW) pun membeberkan fakta yang ada setelah mendapatkan laporan.
Ya, aksi minta paksa proyek ini tidak hanya modus baru korupsi di daerah, tapi juga menjadi penghancur pembangunan di daerah.
Bahkan Indonesia Police Watch (IPW) menerima laporan dari sejumlah daerah bahwa para Kepala Dinas, terutama PU, Pendidikan, Kesehatan, para Bendahara dll kerap didatangi oknum Polisi yang meminta proyek tertentu agar dikerjakan rekanan yang ditunjuknya.
”Jika tidak diberikan, oknum Polisi itu meminta fee 10 sampai 15 persen dari nilai proyek tersebut. Jika tidak diberikan para Kepala Dinas itu diganggu dengan berbagai panggilan kepolisian, mulai dari klarifikasi, wawancara hingga meminta keterangan,” ungkap Ketua Presidium IPW Neta S. Pane, Selasa (15/9).
Akibatnya, sambung Neta, banyak Kepala Dinas yang ”stres” dan mundur dari jabatannya akibat tidak kuat menghadapi teror seperti ini.
”Jika hal ini terus berlanjut nasib pembangunan di daerah dipastikan akan terhambat dan tidak maksimal,” ungkap Neta kepada Fajar Indonesia Network (FIN).
Di Kota Padangsidempuan misalnya, saat ini para Kepala Dinas banyak yg stres menghadapi ulah oknum Polisi. Bahkan ada istri Kepala Dinas yang sakit.
Dan akhirnya meninggal dunia karena suaminya dipanggil wawancara oleh oknum Polisi dari pukul 09.00 hingga pukul 23.00 WIB selama beberapa kali tanpa diketahui secara jelas kesalahannya.
”Sikap oknum Polisi seperti ini perlu segera ditertibkan agar pembangunan di daerah bisa berjalan lancar dan maksimal,” jelasnya.
Munculnya ulah nekat para oknum Polisi ini akibat tidak maksimalnya pengawasan dari para Kapolda maupun Propam Polri.
Kasus oknum Polisi yang makin marak meminta proyek ini sudah dilaporkan IPW kepada Menkopolhukam maupun Mendagri agar ada tindakan tegas dari pemerintah dan ulah oknum Polisi tsb dibersihkan.
Sebelumnya, hasil kajian, KPK menyebut, 82 persen dana yang digunakan oleh para calon kepala daerah (Cakada) bersumber dari pihak swasta yang berperan sebagai sponsor.
Hasil kajian tersebut mengindikasikan adanya potensi kolusi dan korupsi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.
KPK menilai pihak swasta yang berperan sebagai sponsor paslon, pada akhirnya akan melakukan praktek kolusi dan korupsi, baik pada saat Pilkada berlangsung dan setelahnya jika paslon yang disponsorinya menang dan memegang jabatan sebagai kepala daerah.
Hasil kajian KPK ini sangat faktual. Namun IPW melihat ada fenomena baru dimana makin banyak oknum Polisi yang meminta paksa berbagai proyek dari para Kepala Dinas di sejumlah daerah.