Ok
Daya Motor

Konflik Sudan sebagai penguji Konsistensi Kemanusiaan Indonesia di Tengah Konflik Global

Konflik Sudan sebagai penguji Konsistensi Kemanusiaan Indonesia di Tengah Konflik Global

Konflik Sudan sebagai penguji Konsistensi Kemanusiaan Indonesia di Tengah Konflik Global-bbc/ist-radarcirebon

RADARCIREBON.COM - Sudan telah mengalami kekerasan yang bersifat persisten dan kompleks sejak akhir 1980-an, melibatkan berbagai aktor, tipe kekerasan, dan wilayah strategis, menjadikannya salah satu konflik paling berkepanjangan di dunia. 

Interaksi yang rumit antara pemerintah, milisi, kelompok pemberontak, komunitas lokal, dan negara tetangga membentuk jaringan konflik yang saling terkait, sementara lonjakan kematian sering bertepatan dengan peristiwa politik penting seperti konflik Darfur atau kemerdekaan Sudan Selatan.  Kekerasan di Sudan sendiri tidak homogen, bahwa terdapat konflik berbasis negara, serangan terhadap warga sipil, serta perselisihan antar-komunitas, yang semuanya membawa risiko tinggi bagi populasi.

Distribusi kekerasan yang telah saya lakukan terkonsentrasi di hotspot strategis menegaskan bahwa dampak tragedi kemanusiaan tidak merata, sementara lonjakan episodik kematian menunjukkan risiko nyata bagi warga sipil. Dataset primer untuk kajian ini diperoleh dari Uppsala Conflict Data Program (UCDP), Department of Peace and Conflict Research, Uppsala University, memungkinkan analisis sistematis terkait jumlah korban, tipe kekerasan, dan aktor yang terlibat dari 1989 hingga 2024.

Menariknya, Indonesia, yang secara konstitusional menegaskan nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan persatuan (Pancasila, sila kedua), cenderung abai terhadap tragedi kemanusiaan ini. Publik dan kebijakan lebih fokus pada afiliasi agama, seperti dukungan terhadap kelompok Muslim, sementara korban dari konflik Sudan yang jumlahnya jauh lebih besar, termasuk kelompok non-Muslim, jarang mendapat perhatian.

BACA JUGA:Kodim 0614 Gelar Binkom, TNI dan Masyarakat Bersinergi Cegah Konflik Sosial di Kota Cirebon

Sikap selektif ini menimbulkan pertanyaan, bahwa apakah praktik kebijakan Indonesia benar-benar menerapkan prinsip kemanusiaan universal yang menjadi dasar Pancasila dan konstitusi, atau justru menunjukkan bias yang mengedepankan identitas mayoritas di atas nilai kemanusiaan?

Peran lembaga negara dan aktor sosial menjadi sangat penting dalam menghadapi krisis kemanusiaan internasional. Kementerian Luar Negeri seharusnya mengambil langkah diplomatik tegas untuk advokasi kemanusiaan universal, sementara Menko Polhukam perlu mempertimbangkan dampak konflik terhadap stabilitas regional dan posisi strategis Indonesia dalam diplomasi multilateral.

Kemensos dan BNPB harus proaktif menyiapkan mekanisme bantuan dan penanganan dampak sosial, sedangkan Kemenag memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat agar solidaritas kemanusiaan bersifat inklusif. Di sisi masyarakat sipil, pemimpin komunitas agama dan organisasi gereja nasional memiliki tanggung jawab moral mendorong advokasi tanpa bias, dan organisasi kepemudaan gereja perlu menumbuhkan kesadaran kritis serta perspektif global di kalangan pemuda.

Akademisi dan universitas dapat menyediakan analisis berbasis data sebagai dasar kebijakan dan pendidikan publik, sementara media massa dan jurnalis investigatif harus memastikan informasi mengenai tragedi kemanusiaan tersebar luas agar opini publik terbentuk secara faktual dan tidak terdistorsi oleh bias selektif.
Tulisan ini menantang Indonesia untuk merenungkan sikapnya terhadap tragedi global.

Mengabaikan konflik yang tidak “sesuai identitas mayoritas” dapat menimbulkan preseden berbahaya, memperlihatkan ketidakkonsistenan antara praktik kebijakan dan nilai-nilai yang dijunjung Pancasila dan konstitusi. Pemahaman yang kritis terhadap dinamika kekerasan di Sudan bukan sekadar akademik atau geografis, bahwa ini adalah cermin bagi Indonesia untuk menilai sejauh mana prinsip kemanusiaan, keadilan sosial, dan persatuan diterapkan secara nyata dalam kebijakan, solidaritas masyarakat, dan pendidikan generasi muda.

BACA JUGA:Cerita dari Mesuji: Pergulatan Batin Polisi di Daerah Konflik

Analisis Kematian Tahunan di Sudan (1989–2024) Berdasarkan Tipe Kekerasan dan Kaitannya dengan Peristiwa Politik

Dapat dilihat pada gambar dibawah yang dilakukan oleh saya bahwa dinamika kematian tahunan di Sudan selama periode 1989 hingga 2024, dikategorikan berdasarkan tipe kekerasan, antara lain; State-Based, Non-State, dan One-Sided. Garis berwarna yang mewakili masing-masing tipe kekerasan menampilkan fluktuasi jumlah korban dari tahun ke tahun, dengan titik-titik pada garis menekankan angka kematian pada setiap tahun. Terlihat bahwa kekerasan berbasis negara (State-Based) mendominasi jumlah total korban dalam jangka panjang, meskipun ada lonjakan dramatis One-Sided Violence pada tahun-tahun tertentu yang melibatkan serangan terhadap populasi sipil.

Garis putus-putus pada masing-masing tipe kekerasan menandakan rata-rata bergerak tiga tahun, yang membuat perspektif tren jangka menengah dan memperhalus fluktuasi tahunan ekstrem. Lonjakan atau penurunan mendadak dalam kematian terlihat lebih jelas sebagai tren daripada variasi tahunan acak.
Garis vertikal putus-putus menandai peristiwa politik penting seperti Darfur Conflict (2003), kemerdekaan South Sudan (2011), eskalasi RSF (2013), dan puncak One-Sided Violence (2024). Label pada garis vertikal menekankan bahwa banyak lonjakan kematian bertepatan dengan momen-momen kritis ini, menunjukkan korelasi antara eskalasi politik dan peningkatan angka kematian.

 

 

Total Kematian dan Statistik per Tipe Kekerasan (1989–2024)

 

Tipe Kekerasan

Total Kematian

Rata-rata Kematian/Tahun

Puncak Kematian

Tahun Puncak

Rata-rata Bergerak 3 Tahun

Maks Bergerak

Min Bergerak

State-Based

62.009

1.722

5.353

2023

1.542

3.68

34

One-Sided

26.655

740

5.829

2004

699

3.135

57

Non-State

24.775

688

4.01

1993

680

2.084

143

 

Sumber: Hasil proses analisis yang dilakukan oleh Penulis, 2025

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: