Ok
Daya Motor

Integrasi Nilai Nilai Karakter dalam Manajemen Pendidikan: Membangun Sekolah sebagai Pusat Pembentukan Moral

Integrasi Nilai Nilai Karakter dalam Manajemen Pendidikan: Membangun Sekolah sebagai Pusat Pembentukan Moral

Integrasi Nilai Nilai Karakter dalam Manajemen Pendidikan: Membangun Sekolah sebagai Pusat Pembentukan Moral dan Etika -Istimewa-radarcirebon

Oleh:Jasmine Nurlatifah Salamah
(Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta)

Pendahuluan
Kemajuan teknologi, globalisasi, dan budaya digital telah mengubah cara belajar sekaligus cara berinteraksi peserta didik. Informasi bergerak cepat; sayangnya, tidak semuanya benar, sehat, atau mendidik. Di ruang digital, peserta didik dapat terpapar ujaran kebencian, hoaks, hingga budaya perundungan yang terbawa ke ruang kelas. Kondisi ini menuntut sekolah untuk memperkuat kembali fungsi dasarnya sebagai ruang pembentukan moral, bukan semata pusat penguasaan materi.

Berbagai laporan dan pemberitaan nasional menunjukkan bahwa perundungan, kekerasan, dan konflik sosial di kalangan anak dan remaja merupakan persoalan yang nyata. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara berkala menempatkan isu kekerasan terhadap anak—termasuk yang berkaitan dengan satuan pendidikan—sebagai perhatian serius.

Fakta ini mengingatkan bahwa kebijakan sekolah tidak cukup hanya mengatur tata tertib, tetapi juga harus membangun iklim aman, inklusif, dan berkeadilan bagi semua peserta didik.
Tantangan lainnya ialah intoleransi dan menguatnya sikap eksklusif pada sebagian pelajar.
Sejumlah kajian PPIM UIN Jakarta yang banyak dikutip media menegaskan bahwa pendidikan perlu memperkuat nalar kritis, empati, dan sikap menghargai keberagaman, karena sekolah adalah miniatur masyarakat. Tanpa penguatan dimensi karakter, kecerdasan akademik berisiko tidak diikuti kematangan etika dalam kehidupan bersama.

Masalah ini tidak bisa direduksi sebagai kegagalan individu siswa semata. Ia juga berkaitan dengan orientasi sistem pendidikan yang kerap menempatkan capaian kognitif sebagai ukuran utama keberhasilan. Ketika sekolah mengejar nilai ujian dan administrasi sebagai prioritas tertinggi, ruang untuk penguatan karakter dapat menjadi seremonial: tertulis dalam visi-misi, tetapi tidak hidup dalam praktik harian. Di sinilah manajemen pendidikan berperan, karena manajemen menentukan arah kebijakan, budaya, serta standar perilaku yang dialami siswa setiap hari.

Artikel opini ini menegaskan bahwa integrasi nilai-nilai karakter perlu dilakukan secara sistemikmelalui manajemen pendidikan. Nilai bukan hanya diajarkan pada mata pelajaran tertentu, melainkan dihidupkan melalui kebijakan sekolah, keteladanan pendidik, budaya sekolah, serta kemitraan dengan keluarga dan masyarakat. Jika manajemen sekolah dirancang berbasis nilai, sekolah dapat kembali menjadi pusat pembentukan moral dan etika yang relevan untuk tantangan masa kini.

Kajian Konseptual mengenai Integrasi Nilai-Nilai Karakter dalam Manajemen Pendidikan Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah proses pembentukan kepribadian peserta didik melalui internalisasi nilai moral dan etika. Tujuannya melampaui transfer pengetahuan, yakni menumbuhkan moralitas dan tanggung jawab sosial yang nyata (Zubaedi, 2018). Nilai universal seperti kejujuran, disiplin, kerja sama, dan empati menjadi fondasi penting dalam membangun karakter yang kokoh.

Namun, urgensi penerapan karakter ini semakin terasa genting ketika dihadapkan pada realitas krisis moral di lapangan. Sebagai contoh, Laporan KPAI pada Maret 2024 mencatat bahwa 35% dari 114 kasus kekerasan anak yang diadukan terjadi di lingkungan satuan pendidikan (KPAI, 2024). Realitas ini diperparah oleh studi kasus perundungan brutal yang terjadi di Depok pada pertengahan 2024, di mana tindak kekerasan direkam dan disebarluaskan oleh para pelaku (detikNews, 2024).

Fenomena ini membuktikan kegagalan sekolah menumbuhkan kesadaran moral yang bertanggung jawab di ruang digital. Angka dan fakta tragis ini menegaskan bahwa pendekatan konseptual yang hanya berhenti pada tataran teori sudah tidak relevan dan mendesak untuk diubah.

Dalam kerangka manajemen pendidikan, pendidikan karakter berarti mengelola sekolah sebagai ekosistem nilai. Manajemen tidak hanya menyusun program kerja, melainkan mengatur relasi, budaya, dan iklim sekolah agar nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, empati, toleransi, dan tanggung jawab benar-benar menjadi pengalaman hidup siswa. Kepala sekolah dan guru menjadi aktor kunci yang memastikan nilai hadir dalam kebijakan serta interaksi sehari-hari Sekolah yang berkarakter menumbuhkan kesadaran moral dari dalam diri peserta didik, bukan hanya menegakkan aturan kaku.

Argumen ini diperkuat oleh riset yang menunjukkan bahwa tanpa kepemimpinan yang berintegritas dan konsisten, program sebaik apa pun akan gagal. Korelasi kuat antara lingkungan yang aman secara moral dengan peningkatan kinerja akademik dan penurunan masalah disipliner membuktikan pentingnya pendekatan ini.

Secara konseptual, integrasi nilai dapat dilakukan melalui tiga pendekatan utama yang saling menguatkan: kurikuler, kultural, dan keteladanan (Kurniawan, 2019). Pendekatan kurikuler mengintegrasikan nilai ke dalam proses pembelajaran di kelas: tujuan, metode, aktivitas dan penilaian. Pendekatan kultural membangun budaya sekolah yang mempraktikkan nilai secara konsisten, misalnya budaya antri, budaya literasi, disiplin waktu, komunikasi yang santun. Sementara itu, pendekatan keteladanan menuntut guru dan kepala sekolah untuk menjadi panutan nyata perilaku positif.

Penelitian mengindikasikan bahwa keteladanan yang gagal, seperti guru yang sering mempermalukan siswa, justru
menjadi penghambat utama pembentukan karakter. Contoh integrasi kurikuler dapat dilakukan melalui literasi kritis dalam pembelajaran Bahasa/IPS, misalnya dengan latihan memeriksa sumber informasi, membedakan fakta dan opini, serta diskusi etika digital. Dalam pembelajaran sains, integritas dapat dikuatkan melalui praktik anti-plagiarisme, laporan eksperimen yang jujur, dan penghargaan terhadap proses. Dalam olahraga, sportivitas dan kontrol diri dapat dipraktikkan melalui aturan main yang adil serta refleksi setelah pertandingan.

Pada akhirnya, pendekatan ini menekankan bahwa pembiasaan perilaku baik yang diulang setiap hari akan membentuk kepribadian yang melekat secara alami. Hasanah (2019) menekankan bahwa keterlibatan seluruh warga sekolah memperkuat internalisasi nilai moral dalam kehidupan sehari-hari, mentransformasi setiap kebijakan administratif menjadi sarana konkret untuk membangun manusia yang bermoral dan berintegritas. Lebih lanjut, kolaborasi erat antara sekolah, orang tua, dan masyarakat diperlukan untuk memperkuat penerapan ini (Mustofa, 2022), menciptakan ekosistem pendukung yang utuh, karena karakter dibentuk oleh lingkungan yang konsisten dan suportif, baik di dalam maupun di luar gerbang sekolah.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait