Konser Musik Harus Dilarang di Kampanye

Konser Musik Harus Dilarang di Kampanye

JAKARTA – Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 tahun 2020 pasal 63 ayat 1 memperbolehkan konser musik dalam kampanye Pilkada Serentak 2020. DPR menilai hal tersebut sebagai bentuk kekonyolan di tengah pandemi COVID-19. Karena itu harus dilarang.

“Pembolehan ini konyol. Mengatur konser hybrid juga tidak mudah. Kalau dilakukan hybrid, silakan saja. Maksimal 100 yang hadir fisik. Sisanya virtual. Jika tidak, harus dilarang,” tegas Wakil Ketua Komisi II DPR, Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta, Rabu (16/9).

Menurutnya, konser musik untuk kampanye di masa pandemi COVID-19 berpotensi menimbulkan klaster baru. Politisi PKB ini merasa aneh soal aturan KPU yang membolehkan konser musik maksimal dihadiri 100 orang. “Pasti berpotensi menjadi kluster. Kalau tidak bisa menjamin bebas kerumunan, sekalian saja konser ini dilarang,” paparnya. Penyelenggara pemilu diminta tidak main-main dengan nyawa manusia.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Menurutnya, meski aturan membolehkan, namun konser musik untuk kampanye Pilkada 2020 sebaiknya dihindari.

Dasco menilai ada aturan soal izin keramaian yang harus dipatuhi di daerah. Politisi Partai Gerindra tersebut meminta aparat yang mengeluarkan izin keramaian harus mempertimbangkan kondisi pandemi.

“Penyelenggara pemilu dan pihak yang mengeluarkan izin keramaian juga harus melihat apakah di tempat tersebut masyarakatnya bisa terkendali atau justru zona COVID-nya tinggi. Ini harus menjadi pertimbangan,” ujar Dasco.

Seperti diketahui, dalam PKPU Nomor 10 tahun 2020 pasal 63 ayat 1 disebutkan beberapa kegiatan yang tidak melanggar larangan kampanye. Diantaranya rapat umum, kegiatan kebudayaan hingga konser musik. Sedangkan pada ayat 2, diterangkan kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan membatasi jumlah orang sebanyak 100 orang. Serta tetap menerapkan protokol kesehatan.

Komisioner KPU RI, I Dewa Raka Sandi menyatakan aturan tersebut memang ada ketentuan peraturan UU. KPU, sebagai penyelenggara tidak bisa mengubah dan menghilangkannya. “Karena ini aturan UU, maka sebagai penyelenggara KPU tidak berwenang mengubahnya. Namun, KPU akan mengaturnya secara lebih rinci sesuai standar protokol kesehatan,” jelas Raka Sandi.

Sementara itu, anggota dewan pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menilai aturan tersebut seharusnya dapat diubah. Karena hanya terdapat di PKPU. “Karena pengaturan soal aktivitas konser musik itu hanya ada di PKPU. Semestinya bisa direvisi,” jelas Titi di Jakarta, Rabu (16/9).

Dia menilai, jika KPU tetap membolehkan adanya konser musik, maka perlu kesiapan ekstra. Diantaranya memastikan kepatuhan peserta pemilu dan jaminan adanya sanksi bagi yang melanggar. “Jangan sampai terulang kekacauan seperti saat pendaftaran bacalon,” imbuhnya.

Titi menyebut, meski KPU membatasi jumlah peserta dalam kegiatan konser musik, namun hal ini tidak berpengaruh. Konser musik yang digelar tetap berpotensi menarik minat pihak lain.

“Di dalam lokasi acara bisa dibatasi. Namun gaung konser musik bukan hanya di dalam lokasi acara. Itu harus diperhitungkan. Karakter konser musik itu berbeda dengan aktivitas lain. Sebab, aspek hiburannya lebih dominan. Secara alamiah bisa memikat pihak di luar target peserta kampanye ikut serta. Apalagi hingar bingarnya pasti tidak hanya bisa dibatasi di lokasi acara,” terangnya.

KPU, lanjutnya, seharusnya belajar dari kejadian konser yang terjadi di Bogor pada masa PSBB. Saat itu, konser disebut dibuat secara khusus. Namun faktanya tetap menimbulkan keruminan orang. “Konser Rhoma Irama di Bogor misalnya. Dikatakantidak didesain khusus. Faktanya, tetap saja banyak orang berkumpul di sana,” tukas Titi.

Menurutnya, harus adanya sanksi tegas bila aturan kampanye konser musik dijalankan. Tetapi, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur sanksi tersebut. “Problemnya, skema sanksi tegas belum tersedia dan terkonstruksi. Ini yang harus dipikirkan,” pungkasnya.(rh/fin)

https://www.youtube.com/watch?v=DGo7wX-Uy9k

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: