Menggoreng Bentjok

Menggoreng Bentjok

BENTJOK akhirnya memilih jalan konfrontasi. Mungkin karena pengusaha besar itu kaget: kok dituntut hukuman penjara seumur hidup. Mungkin cucu pendiri Batik Keris Solo itu merasa apa boleh buat: toh tidak ada lagi hukuman lebih berat dari seumur hidup.

Ketika kasus Jiwasraya terungkap beberapa bulan lalu, saya sempat meragukan apakah Kejaksaan Agung bisa menyeret orang seperti Bentjok –singkatan Benny Tjokrosaputro.

Waktu itu saya menulis: satu-satunya alasan untuk bisa menyeret Bentjok ke pengadilan adalah kalau bisa didapat bukti bahwa ia menyogok. Lalu saya perkirakan, itu juga sulit. Kalaupun orang seperti Bentjok menyogok, tidak mungkin bisa ketahuan. Ia terlalu ceroboh kalau menyogok dengan cara bisa dilacak.

Saya perkirakan Bentjok akan berlindung penuh di balik UU Pasar Modal, UU Perseroan Terbatas, dan berbagai peraturan di pasar saham. Kalaupun ia dinilai ”pintar” memanfaatkan peraturan, itu bukan salahnya. Itu salah peraturannya. Seperti juga halnya Donald Trump yang tidak membayar pajak. Atau membayar pajak tapi kecil sekali –yang tidak sebanding dengan kebesaran bisnisnya.

Trump pernah mengatakan, justru seperti itulah pengusaha yang hebat. Yang cerdik. Yang pintar. Ia tidak harus membayar pajak besar kalau peraturan memungkinkan untuk itu. Ia merasa tidak ada peraturan perundangan yang dilanggar.

Orang seperti Bentjok pasti punya sikap yang sama. Ia merasa bermain di pasar modal secara benar. Ia merasa sudah mengikuti peraturan yang berlaku. Setidaknya tidak melanggarnya.
Kalaupun masyarakat persahaman memberinya gelar ”Raja Goreng Saham”, itu hanyalah gelar informal. Tidak pernah ada SK pengangkatannya. Tidak pula pernah dilantik sebagai raja.

Dan lagi, Bentjok memang punya kompor, wajan, dan minyak gorengnya. Ia bisa memperlihatkan bahwa ia telah menggoreng saham itu dengan benar: kompornya menyala, apinya sangat biru, minyak gorengnya mendidih.

Tapi, ternyata Kejaksaan Agung bisa menyeretnya ke pengadilan.

Maka, Bentjok bisa merasa sia-sia kalau hanya akan berargumentasi pada hukum kebebasan pasar modal dan pasar saham.

Bentjok pun memilih memasuki juga perlawanan yang lebih hulu. Ia memasuki jantung medan perang yang sesungguhnya: unsur kerugian negara. Yang sampai Rp 16 triliun lebih itu.

Dalam pembelaannya (pleidoi) minggu lalu, Bentjok membacakan sendiri pleidoi yang ia buat sendiri. Itu di luar pleidoi yang dibuat pengacaranya, Bob Hasan.

”Benarkah saya (Bentjok) merugikan negara?” Itulah topik inti Perang Bubat-nya.

Pertama, ia merasa sudah mengembalikan uang itu. Ia uraikan bukti-buktinya.

Kedua, –dan ini yang akan heboh berkepanjangan– Bentjok menuduh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)-lah yang jadi penyebab kesengsaraannya itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: