Kemendikbud Ubah Sistem SKS

Kemendikbud Ubah Sistem SKS

JAKARTA-Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah mendesain ulang formula baru untuk menghitung Sistem Kredit Semester (SKS) yang akan diterapkan perguruan tinggi mulai 2021.

Direktur Sumber Daya Dikti Kemendikbud, Sofwan Effendi mengatakan, bahwa dalam formula baru ini penghitungan SKS tidak lagi berbasis waktu belajar di kelas, melainkan berdasarkan kegiatan yang dilakukan di dalam maupun di luar kelas.

Saat ini, Kemendikbud telah merumuskan formulasi penghitungan SKS yang dapat digunakan untuk dosen dan mahasiswa. “Ada satu yang menarik, SKS bukan lagi waktu belajar di kelas, tapi waktu kegiatan,\" kata Sofwan di Jakarta, Selasa (10/11).

Menurut Sofwan, dengan model baru penghitungan SKS yang menjadi bagian dari Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka ini, dosen dapat memanfaatkan seluruh kegiatan tridarma di dalam dan luar kampus untuk dua hal. Pertama, meningkatkan kapasitas, kompetensi dosen sebagai penggerak mahasiswa di luar kampus.

“Ini merupakan kesempatan emas terutama bagi para dosen. Sebab selama ini penghitungan SKS hanya bisa diperoleh dari kredit selama jam pelajaran di dalam kelas\" ujarnya.

Selain itu, kata Sofwan, formula baru tersebut sekaligus bisa mendapat kredit poin untuk kenaikan pangkat, baik untuk menjadi asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga guru besar. “Banyak pilihan kegiatan yang dapat dilakukan untuk memperoleh kredit sebagai dosen. Jenjang kariernya juga lebih meningkat yakni guru besar,” terangnya.

Sofwan menambahkan, SKS model baru ini tidak lagi hanya menghitung jam belajar di kelas saja, melainkan juga jam kegiatan mahasiswa dan dosen seperti magang di industri, melakukan proyek independen dan sebagainya.

Sedangkan untuk dosen, kegiatan pendampingan saat mahasiswa melakukan kegiatan di luar kampus tersebut juga akan dihitung ke dalam SKS. “Jam kegiatan yang selama ini tidak dihitung akan dihitung. Apakah mendampingi mahasiswa di industri, magang atau proyek independen. Mahasiswa juga tidak dianggap bolos, bisa dihitung ke dalam SKS. Asalkan ini direncanakan sedari awal,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud, Nizam mengatakan, bahwa tantangan terbesar pendidikan tinggi adalah pola pikir dosen yang masih berada di era revolusi industri 2.0 atau 3.0. Menurutnya, Peran dosen saat ini harus bergeser menjadi pendamping mahasiswa.

“Menjadi co-pilot bagi mahasiswa untuk menjelajah kompetensinya, menjelajah ilmu pengetahuan dan teknologi dan menciptakan bersama-sama dengan mahasiswa ilmu pengetahuan dan teknologi ke depan,\" kata Nizam.

Menurut Nizam, peran co-pilot memang bukan hal yang mudah. Artinya, peran dosen sebagai pendamping mahasiswa memiliki peran yang lebih kompleks dari sekadar pengajar yang memberikan materi-materi saat kuliah.

“Dosen juga harus memiliki semangat dan keinginan kuat untuk mendampingi mahasiswa menjelajah dunia masa depan agar bisa melahirkan manusia yang unggul dan memiliki kompetensi sesuai dengan apa yang nantinya dia butuhkan ketika memasuki dunia kerja,\" tuturnya. (der/fin)

https://www.youtube.com/watch?v=RD6JzRchwDw

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: