Hakim Agung Tantang KPK

Hakim Agung Tantang KPK

JAKARTA - Hakim Agung resah dengan tertangkapnya pengacara Mario Carlio Bernardo dan pegawai Mahkamah Agung (MA) Djodi Supratman. Sebab, hingga saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mengungkap untuk hakim siapa suap itu ditujukan. Sebab, makin lama tak terungkap, selama itu pula hakim agung tersandera stigma negatif. Kepada Jawa Pos (Grup Radar Cirebon), Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan kalau operasi tangkap tangan KPK tersebut sangat menampar wajah MA. Apalagi, lembaga antirasuah sudah memastikan kalau suap itu berkaitan dengan perkara kasasi nomor 521K/Pid/2013. \"Harus diusut segera nama majelis hakimnya. Lembaga MA sudah tercemar,\" ujarnya. Gayus Lumbuun mendesak KPK untuk mengungkap dengan detil siapa aktor intelektual dan hakim sasaran bukan tanpa alasan. Sebab, dia menjadi salah satu dari tiga pengadil dalam kasus kasasi Hutomo Wijaya Ongowarsito. Dua hakim agung lain adalah Andi Ayyub Saleh dan M Zaharuddin Utama. Apalagi, dalam penyelesaian kasus penipuan itu Gayus Lumbuun menjadi ketua majelis hakim. Memudahkan dirinya menjadi sasaran tembak dugaan penerima suap. \"Segera ungkapkan uang itu untuk keperluan apa dan akan diserahkan Hakim Agung yang mana?,\" imbuh mantan anggota DPR dari PDIP itu. Dia juga ingin tahu apakah benar Rp78 juta yang ditemukan saat operasi tangkap tangan (OTT) untuk mempengaruhi kinerja hakim agung. Meski demikian, Gayus Lumbuun mengakui ada celah di MA yang bisa dimanfaatkan tikus peradilan untuk bermain curang. \"Salah satu  kelemahan ada pada kondisi ruang kerja Hakim Agung di MA yang sempit untuk menyimpan berkas perkara. Bisa menjadikan peluang bocornya data dari tumpukan berkas perkara yang sudah atau sedang diperiksa,\" ungkapnya. Nah, menurutnya bukan hanya Hakim Agung yang bisa bermain dalam kondisi seperti itu. Bisa saja ada oknum-oknum tidak bertanggung jawab lainnya yang memanfaatkan sempitnya ruang kerja. Padahal, MA saat ini sedang kerja keras untuk melakukan pembenahan terutama kinerja hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dorongan agar KPK untuk melakukan penelusuran lebih lanjut terus bergulir. Khususnya, terkait pembuktian ada atau tidaknya keterlibatan petinggi MA dalam kasus suap melibatkan salah satu pengacara di Firma Hukum Hotma Sitompul dan salah satu staf diklat MA. Ketua Komisi III Gede Pasek Suardika menegaskan kalau kasus tersebut tidak boleh hanya berhenti pada upaya tangkap tangan. \"Kami berharap ini akan berkembang lebih luas, karena yang ditangkap kan tidak punya akses memutuskan perkara,\" kata Gede Pasek di Jakarta kemarin (28/7). Dia juga berharap, kalau upaya tangkap tangan terakhir yang dilakukan KPK tersebut juga tidak memiliki motif lain di luar kerangka upaya penegakan hukum. \"Semoga ini murni penegakan hukum, bukan karena memang menarget Hotma Sitompul yang keras berhadapan selama ini,\" tandasnya. Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan, mengaku prihatin atas terungkapnya kasus yang melibatkan nama MA sebagai lembaga peradilan tertinggi dan profesi advokat. Dua pihak yang semestinya termasuk garda terdepan dalam penegakan hukum justru terindikasi berkoalisi demi kepentingan masing-masing. \"Pada prinsipnya kita prihatin karena (tertangkapnya Mario sebagai seorang advokat) ini mencoreng nama advokat,\" sesalnya, kemarin. Yang paling penting, kata Otto, saat ini pihaknya mendukung upaya KPK untuk mengungkap semua kejahatan seperti itu. Peradi juga belum menentukan sikap terhadap keanggotan Mario sejauh ini. \"Kami belum tahu apakah Mario bersalah atau tidak. Kalau bersalah otomatis tidak mungkin jadi advokat lagi. Karena menurut Undang Undang pun jika seseorang dijatuhi pidana dengan ancaman minimal 5 tahun sudah tidak bisa jadi advokat. Karena melanggar hukum pasti melanggar kode etik,\" ulasnya. Terhadap internal lingkungan advokat, menurutnya, sejauh ini sudah berupaya keras untuk menegakkan disiplin profesi. Jangan kan kasus suap, ucap Otto, kasus lain yang notabene lebih ringan saja sudah ada yang dipecat. Saat ini Peradi tercatat hadir di 59 Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di seluruh Indonesia. Di luar itu, Otto berharap kasus ini menjadi pelajaran kepada semua penegak hukum agar bisa bekerjasama termasuk melibatkan para advokat. \"Hakim, jaksa, advokat, itu harus bisa bersama-sama menegakkan disiplin ini. Sebab selama ini hakim, hakim agung, jaksa, ambil posisi masing-masing. Tapi diam-diam kerjasama, kan di situ persoalannya,\" ungkapnya. Maka menurutnya lebih baik kerja sama diformalkan secara terbuka dimulai dari seluruh pimpinan bertemu. Tujuannya agar di tingkat bawahan tidak lagi terjadi kerjasama diam-diam yang bisa merusak peradilan di negara ini. \"Contoh dulu waktu satgas korupsi dibentuk oleh Denny Indrayana, Peradi minta dilibatkan dalam satgas itu tetapi tidak dilibatkan. Kalau advokat ikut serta, ikut diberikan kewenangan untuk bisa melaporkan kejadian-kejadian kan bisa meminimalisir. Jadi yang paling tahu perilaku advokat itu kan advokat sendiri,\" paparnya. Kecenderungan terjadi saat ini akibat permainan diam-diam, kata Otto, mau tidak mau menimbulkan kecurangan. \"Advokat itu kan memberikan sesuatu karena hakim meminta, jaksa meminta. Kalau tidak dikasih terus dipersulit. Jadi diam-diam melakukan seperti itu,\" keluhnya. (dim/dyn/gen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: