Bawaslu Siap ke Mahkamah Konstitusi

Bawaslu Siap ke Mahkamah Konstitusi

JAKARTA – Bawaslu daerah yang menggelar Pilkada Serentak 2020 harus bersiap menghadapi sengketa perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi (MK). Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar meminta lembaga pengawas di daerah menyiapkan data dengan lengkap.

Harapannya, tidak menyulitkan jika nantinya menghadapi persidangan di MK. Dia menjelaskan ada sepuluh peserta yang mengajukan perselisihan hasil pemilihan (PHP) ke MK dari tingkat kabupaten/kota di Provinsi Sumatra Utara, yaitu berasal dari Kota Medan, Kabupaten Karo, dan beberapa lainnya.

Fritz menambahkan, terdapat beberapa peserta pilkada dari daerah lain yang mengajukan permohonan ke MK, di antaranya: Kabupaten Musi Rawas Utara, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan dari Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel).

Ia melanjutkan, Bawaslu harus membaca dan memahami pokok permohonan. Dirinya menegaskan saat ini tidak hanya hasil suara yang dijadikan objek sengketa oleh pemohon, melainkan ada salinan daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak lengkap, saksi tidak bisa mengambil foto daftar hadir hingga pelanggaran protokol kesehatan.

“Hal itu harus bisa dijawab karena terkait kerja pengawasan kita di lapangan. Jawab pertanyaan apa saja yang ditanya. Tidak perlu jawab yang tidak ditanya,” tegasnya.

Menurutnya dalam memberikan keterangan dalam PHP di MK, jajaran Bawaslu daerah harus melakukan inventarisasi dokumen pengawasan, penanganan pelanggaran, penyelesaian sengketa, dan dokumen lain yang berkaitan dengan pokok permohonan.

“Tugas ini dapat dilakukan dengan melakukan pembagian beban kerja berdasarkan divisi. Saya harap data dari kabupaten kota hingga provinsi jangan berbeda,” sebutnya.

Sementara itu, Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo membandingkan data tingkat pelanggaran Pilkada 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah Pilkada 2020 di 270 daerah. Meski jumlah dugaan pelanggaran menurun, namun menurutnya tingkat penanganan pelanggaran mengalami kenaikan.

Sehingga perlu memberikan perlindungan kepada pelapor yang mungkin mendapatkan ancaman teror dari pihak terlapor. Menurutnya ada kesamaan bentuk pelanggaran seperti pemasangan alat peraga kampanye (APK) tak sesuai prosedur yang masih mendominasi pelanggaran administrasi.

“Lalu keberpihakan penyelenggara ad hoc (sementara) juga masih mendominasi pelanggaran kode etik, keberpihakan kepala desa mendominasi tindak pidana pemilihan, dan ASN (Aparatur Sipil Negara) memposting keberpihakannya di media sosial yang masih banyak,” katanya.

Dewi menegaskan, berdasarkan jumlah dugaan pelanggaran Pilkada 2018 lebih banyak dibandingkan Pilkada 2020, meskipun daerah pemilihan tahun 2018 lebih sedikit.

“Tetapi tingkat penanganan pelanggaran pada pemilihan tahun ini lebih tinggi dibandingkan sebelumnya meskipun pelanggaran administrasi pada pemilihan 2020 menurun dibandingkan 2018, tetapi terjadi peningkatan pelanggaran netralitas ASN pada pemilihan tahun ini,” jelas dia.

Dia pun berharap jajaran Bawaslu bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat yang akan memberikan laporan dugaan pelanggaran administrasi maupun pidana pemilihan. “Masyarakat dihantui ketakutan dan risiko mendapat tekanan, bahkan ancaman teror dari pihak yang dilaporkan. Bawaslu harus bisa pasang badan untuk para pelapor,” terangnya. (khf/fin)

https://www.youtube.com/watch?v=yz5L8uZzk5I&t=12s

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: