Inflasi 1,68 Persen 2020 Terendah

Inflasi 1,68 Persen 2020 Terendah

JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi 1,68 persen pada 2020 merupakan yang terendah sejak 2014. Meski begitu, inflasi yang rendah tidak serta merta menjadi tolak ukur daya beli masyarakat.

“Secara umum, kita bisa berharap daya beli masyarakat akan membaik di masa mendatang,” ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto dalam keterangannya, kemarin (4/1).

Disebutkan, inflasi sepanjang 2020 disumbang oleh emas perhiasan 0,26 persen, cabai merah 0,16 persen, minyak goreng 0,1 persen, rokok kretek filter 0,09 persen, dan rokok putih 0,09 persen.

BACA JUGA:Tahun 2021 sebagai Momentum Pemulihan Ekonomi Kreatif Jabar

Selain itu, inflasi juga disumbang oleh kenaikan harga daging ayam ras 0,05 persen, telur ayam ras 0,04 persen, ikan segar 0,04 persen, nasi dengan lauk 0,04 persen, dan uang kuliah 0,04 persen.

Secara kelompok, inflasi tertinggi ada di kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya mencapai 5,8 persen dengan andil 0,35 persen.

Namun, andil inflasi tertinggi ada di kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,91 persen dengan tingkat inflasi 3,63 persen.

Lalu, inflasi kesehatan 2,79 persen dengan andil 0,07 persen dan kelompok penyediaan makanan dan minuman/restoran 2,26 persen dengan andil 0,2 persen.

Kemudian, inflasi kelompok pendidikan 1,4 persen dengan andil 0,08 persen, kelompok perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga 1,03 persen dengan andil 0,06 persen, kelompok pakaian dan alas kaki 1,01 persen dengan andil 0,05 persen, dan kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya 0,73 persen dengan andil 0,02 persen.

Sisanya, inflasi berasal dari kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga 0,35 persen dengan andil 0,07 persen.

Sementara penyumbang deflasi alias penurunan harga adalah kelompok transportasi sebesar 0,85 persen dengan andil minus 0,11 persen dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan 0,35 persen dengan andil minus 0,02 persen.

Terpisah, Ekonom Core Piter Abdullah menilai, inflasi yang rendah lebih disebabkan permintaan yang turun akibat pandemi. Inflasi yang rendah tidak kemudian mendorong peningkatan daya beli dan menyebabkan konsumsi yang Lebih tinggi.

Namun, inflasi yang rendah ini memberi ruang kepada otoritas khususnya Bank Indonesia (BI) untuk tetap melanjutkan kebijakan moneter longgar dalam rangka mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional.

“BI untuk tetap melanjutkan kebijakan moneter longgar dalam rangka mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional,” tukasnya. (din/fin)

https://www.youtube.com/watch?v=b92t_Ozdkho

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: