Masih Banyak KPUD Bermasalah, 84 Dipecat, 264 Dipulihkan
JAKARTA - Jumlah pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh komisioner Komisi Pemilihan Umum di daerah terus meningkat. Terbukti , dalam setahun terakhir, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyidangkan 113 perkara. Dimana, sebanyak 97 perkara telah diputus dengan bermacam konsekuensi hukum, termasuk pemberhentian penyelenggara pemilu karena pelanggaran kode etik. \"Setahun ini memang banyak komisioner yang bermasalah. Tercatat dari 97 perkara yang diputus, sebanyak 84 komisioner KPU diberhentikan, ini bagian dari konflik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang cenderung meningkat. Dimana banyak penyelenggara pemilu yang terseret di dalamnya,\" ujar komisioner DKPP Nur Hidayat Sardini, Senin (5/8). Sebagian besar keputusan memberhentikan itu dilakukan untuk penonaktifan permanen. Ada juga pemberhentian sementara seperti yang menimpa tiga komisioner KPU Jawa Timur. Yakni, Nadjib Hamid, Agus Machfud Fauzi, dan Agung Nugroho. Jumlah itu, kata Hidayat, belum termasuk putusan terakhir DKPP yang memberhentikan delapan komisioner di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Mereka terdiri atas lima komisioner KPU dan tiga pengawas pemilu kabupaten. \"Dari total perkara per 1 Agustus tercatat sebanyak 113 kasus. DKPP memberikan vonis lebih ringan berupa. Juga peringatan. Ada pula 75 penyelenggara pemilu dari berbagai daerah yang mendapatkan peringatan tertulis. Ada juga penyelenggara pemilu yang direhabilitasi kembali namanya. Jumlahnya mencapai 264 komisioner,\" paparnya. Sementara itu, Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie menyatakan, DKPP merupakan lembaga baru yang berfungsi dalam menjaga kehormatan institusi penyelenggara pemilu. \"Pemberhentian ini adalah upaya untuk menyelematkan citra, bukan untuk menghukum. Karena citra penyelenggara pemilu harus tetap dijaga demi terselenggaranya pemilu yang jurdil,\" ungkap Jimly. Menurut Jimly, peradilan etik memiliki fungsi yang berbeda bila dibandingkan dengan hukum. Peradilan etik memiliki fungsi menjaga kepercayaan masyarakat. Dalam hal ini, kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu tetap terjaga dengan tetap memunculkan evaluasi melalui peradilan etik. \"Inilah beda peradilan etik dengan hukum, kalau hukum itu sifatnya menghukum dan memenjarakan. Kalau kita memberikan pembinaan guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penyelenggara pemilu,\" ujarnya. Selain itu, Jimly juga mendorong adanya peradilan etik tidak hanya di penyelenggara pemilu, tapi juga di institusi negara lainnya. \"Ini agar lembaga negara bisa kembali di hargai masyarakat dan tetap menjaga kepercyaan dan citra lembaganya,\" pungkasnya. (dms)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: