Soal Izin Ekspor Benih Lobster, Edhy Prabowo: Setiap Kebijakan yang Saya Ambil untuk Kepentingan Masyarakat

Soal Izin Ekspor Benih Lobster, Edhy Prabowo: Setiap Kebijakan yang Saya Ambil untuk Kepentingan Masyarakat

JAKARTA - Tersangka kasus suap izin ekspor benih lobster, Edhy Prabowo menyatakan, setiap kebijakan yang dikeluarkannya semasa menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan didasarkan atas kepentingan masyarakat.

Ia mengatakan, apabila dalam praktiknya menemui kendala, seperti kasus dugaan suap izin ekspor benih lobster yang menjeratnya sebagai tersangka, hal itu dipandang selayaknya konsekuensi yang mesti dihadapi.

“Saya tidak bicara lebih baik atau tidak, saya ingin menyempurnakan (kebijakan). Intinya adalah setiap kebijakan yang saya ambil untuk kepentingan masyarakat. Kalau atas dasar masyarakat itu harus menanggung akibat, akhirnya saya dipenjara, itu sudah risiko bagi saya,” kata Edhy di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (22/2).

Dirinya tak menyangkal bahwa kebijakan yang dikeluarkan berpotensi mengandung kesalahan. Namun dirinya menganggap hal itu sebagai tantangan.

“Kalau ada kesalahan, ya ada kesalahan. Saya tidak menapikan pasti ada kesalahan. Tapi kalau kita mau berusaha takut salah kapan lagi kita mau berusaha?” tandasnya.

Edhy memandang program ekspor benih lobster memiliki peluang yang besar untuk menghidupi masyarakat. Terlebih faktanya, menurut dia, pertumbuhan ekonomi di sektor perikanan tumbuh positif meski negara sedang menghadapi pandemi Covid-19.

“Masyarakat penangkap ikan ada tambahan pekerjaan kalau menangkap lobster, satu orang kalau harganya Rp5 ribu sehari dapat 100, ada Rp500 ribu pendapatannya. Siapa yang mau ngasih uang mereka itu? Negara sendiri sangat terbatas untuk itu,” katanya.

Selain itu, kata dia, kebijakan ekspor benih lobster turut memberikan pemasukan terhadap kas negara.

“Anda sendiri harus catat, berapa PNBP yang kita peroleh selama 3 bulan itu, ada Rp40 miliar sudah terkumpul bandingkan dengan peraturan yang lama seribu ekor hanya Rp250 rupiah. Di zaman saya 1 ekor seribu ekor minimal, makannya terkumpul uang itu,” imbuhnya.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan tujuh tersangka. Ketujuh tersangka itu yakni, Edhy Prabowo, tiga staf khusus Edhy, Andreau Pribadi Misanta, Safri serta Amril Mukminin; Siswadi selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo; Ainul Faqih selaku Staf istri Menteri KP; dan Suharjito selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama.

Edhy bersama Safri, Andreau Pribadi Misanta, Siswadi, Ainul Faqih, dan Amril Mukminin diduga menerima suap sebesar Rp 10,2 miliar dan USD 100 ribu dari Suharjito. Suap tersebut diberikan agar Edhy memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai eksportir benur.

Sebagian uang suap tersebut digunakan oleh Edhy dan istrinya Iis Rosita Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy. (riz/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: