Naik Lagi, Sekali Reses Anggaran Anggota Dewan Rp150 Juta
JAKARTA - Dana reses anggota DPR kembali mendapat sorotan. Besarannya yang terus naik dari waktu ke waktu dianggap tak sebanding dengan output yang dihasilkan. Terakhir, sesuai dengan data yang diperoleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), nilainya bisa mencapai sekitar Rp1 miliar per tahun. Jumlah itu diperoleh setiap anggota dewan jika ditotal dengan uang akomodasi yang turut diberikan untuk turun ke daerah. \"Dana reses yang terus naik itu akan tetap sia-sia alias mubazir,\" ujar Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi di Jakarta kemarin (15/8). Berdasar pengamatannya selama ini, menurut dia, kegiatan hampir semua anggota dewan tidak pernah memecahkan persoalan kerakyatan secara nyata. Kegiatan reses, lanjut dia, hanya menjadi ajang bertemu konstituen lewat kegiatan-kegiatan seremonial. \"Hanya kegiatan basa-basi yang membosankan rakyat,\" tandasnya. Uang reses anggota DPR diperkirakan memang naik tiap tahun. Sekitar pertengahan 2010 angkanya masih sekitar Rp103 juta sekali reses per anggota. Setiap tahun anggota DPR reses empat kali. Selain itu, para anggota DPR mendapat uang akomodasi dan transportasi ke daerah pemilihan. Frekuensinya bisa mencapai 15 kali per tahun dengan besaran yang beragam sesuai dengan lokasi dapil. \"Meski dana yang didapat sudah tinggi, tidak serta-merta angka korupsi di DPR akan turun,\" kata Uchok. Padahal, sindir dia, ketika turun ke daerah menemui konstituen, anggota dewan tidak lagi perlu merogoh kocek. \"Korupsi itu tetap susah dihindari karena memang mereka juga tidak ada yang mengawasi,\" imbuhnya. Menurut dia, fraksi yang menjadi kepanjangan tangan partai di DPR juga tak bisa mengawasi kinerja anggotanya secara optimal. \"Fungsi fraksi justru bukan untuk mengawasi kinerja anggota dewan, tapi lebih sebagai lembaga pemungut pajak untuk operasional partai,\" tandasnya. Terpisah, Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari menyatakan bahwa persoalan dana reses yang disebut-sebut mencapai Rp1 miliar per tahun tidak terletak pada jumlah nominalnya. Tetapi, bagaimana pengawasan terhadap dana tersebut digunakan oleh anggota dewan saat turun ke daerah pemilihannya. Sebab, sebagai wakil rakyat, anggota dewan harus melakukan tugas untuk menyerap aspirasi dari masyarakat atau konstituen. \"Besarnya dana aspirasi yang diterima anggota dewan harus dilihat dan diletakkan dalam konteks daerah pemilihannya,\" kata Hajriyanto di kompleks parlemen kemarin. Sebagai contoh, jika seorang anggota DPR berasal dari dapil yang mencakup sepuluh kabupaten, berarti satu kabupaten mendapat alokasi Rp100 juta per tahun dengan perhitungan dana reses Rp1 miliar. Sementara itu, dalam satu tahun DPR memiliki empat kali masa reses. Dengan demikian, dalam satu masa reses, satu kabupaten hanya mendapat Rp25 juta. Perhitungannya bisa berbeda jika seorang anggota dewan yang berasal dari dapil di wilayah Indonesia Timur. Biaya tiket pesawat yang tergolong mahal juga perlu menjadi catatan. Atau, wakil rakyat yang memiliki konstituen di dapil yang padat penduduknya, sehingga butuh biaya yang cukup saat melakukan pertemuan tatap muka. \"Jumlah anggaran itu (Rp1 miliar, red) relatif sekali,\" kata Hajriyanto. Yang menjadi persoalan, ada anggota dewan yang mendapatkan dana reses namun tidak melakukan tugas untuk menyerap aspirasi ke konstituennya. \"Kalau seperti itu, berarti kejahatan politik dan pembohongan politik,\" tegas ketua DPP Partai Golkar tersebut. Pelanggaran dengan membuat laporan fiktif seolah-olah melakukan kunjungan saat reses, lanjut Hajriyanto, perlu dimintai pertanggungjawaban. \"Itu pelanggaran dengan dana sebesar itu, tapi dia tidak turun,\" tandasnya. (dyn/fal/c10/fat)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: