Anggap Mayoritas Rekening Wajar

Anggap Mayoritas Rekening Wajar

JAKARTA - Pengumuman hasil penyelidikan rekening mencurigakan perwira polri tak sesuai harapan publik. Dari 23 rekening mencurigakan, 17 di antaranya dianggap wajar. Polisi juga tak berani menyebut nama dan inisial mereka. “Saya tak mau dipenjara kalau menjelaskan secara rinci karena jelas itu melanggar undang-undang,” ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Edward Aritonang saat jumpa pers di Rupatama, Mabes Polri kemarin (16/07). Awalnya, polisi sempat berjanji Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang member penjelasan, namun batal. Edward juga gagal ditemani pejabat PPATK yang sedianya juga akan hadir. Acara yang sedianya dimulai pukul 13 itu juga tertunda hingga pukul 14.30. Selama 90 menit menunggu, beberapa perwira dan staf Edward tampak hilir mudik dan menelpon untuk berkoordinasi. Edward menjelaskan, dirinya bisa dikenakan pasal 10 A UU 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jika membeber data dengan detail. “Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim,dan siapapun yang memperoleh dokumen LHA wajib merahasiakan dokumen itu kecuali di pengadilan. Jika terjadi pelanggaran diancam hukuman satu hingga 15 tahun,” ujarnya mengutip isi pasal. Orang nomor satu di Humas Polri itu juga berlindung dengan pasal 17 UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam pasal itu diatur tentang ancaman hukuman bagi orang yang membuka rahasia pribadi seseorang, kondisi pribadi,aset, dan pendapatan rekening bank. “Dengan UU ini saya bisa diancam hukuman dua tahun,” katanya. Karena itu, Edward hanya memaparkan garis besar penyelidikan. “Ada 831 laporan LHA yang kami terima. Diantaranya 23 milik polisi, 19 LHA 2005 dan hanya empat yang LHA 2010,” katanya. Penyelidik, kata dia, sudah berhasil melakukan upaya pemeriksaan terhadap semua laporan itu. “Tapi, khusus kali ini kami jelaskan dulu yang milik polisi. Yang sisanya nanti menyusul,” katanya. Edward menjelaskan, penyelidikan yang dilakukan terhadap 23 rekening dilakukan dengan beberapa tahapan cara. Yakni, memanggil objek terperiksa, pembuktian dokumen yang diberikan, wawancara pihak ketiga, dan melakukan pengecekan fisik. “Misalnya ada yang mengaku beli tanah dari si X, maka si X itu ditanya juga apa benar jual tanah. Letaknya dimana, dan seterusnya,” katanya. Jenderal dua bintang itu menyebut, 23 rekening itu 17 diantaranya bisa dinyatakan wajar. “Ini sudah kami laporkan ke PPATK,” katanya. Ada beberapa transaksi yang dianggap clear dalam penyelidikan. “Misalnya, aset yang diakui sebagai warisan dari orang tua. Lalu, ada juga bisnis dan investasi keluarga namun menggunakan rekening pribadi. “Ada juga yang punya angkot, bisnis keluarga di bidang perkebunan,” kata Edward. Yang juga dianggap wajar dalam transaksi-transaksi rekening itu adalah pembelian premi asuransi, pengeluaran untuk membayar hutang, dan biaya berobat. “Ada juga yang melakukan pembayaran dengan uang dinas untuk kepentingan dinas namun dianggap transaksi pribadi. Setelah dicek, bukti dan kuitansi dinasnya ada, jadi clear tidak ada masalah,” katanya. Lalu, dua transaksi terindikasi pidana. “Satu sudah masuk pengadilan. Itu yang Renau,” ujar Edward. Renau merujuk pada kasus Kompol Martin Renu di Polda Papua yang diduga mendapatkan dana ilegal dari kegiatan illegal logging. Namun, dalam vonis pengadilan, Renau dibebaskan dan dinyatakan tidak terbukti bersalah. Yang kedua, kata Edward masih dalam proses. “Saya tidak sebut,” katanya. Dugaan kuat mengarah pada kasus Komjen Susno Duadji. Susno sempat dibidik dalam dugaan menerima transfer dari pengacaranya Johny Situwanda. Hingga kini kasus itu belum bisa dilimpahkan ke kejaksaan karena Johny tak kooperatif dalam pemeriksaan. Lalu, dua rekening lagi masih dalam tahap klarifikasi dokumen. “Objek terperiksa sudah dipanggil, tapi dokumen dan buktinya belum beres. Jadi, belum ada kesimpulan, masih proses,” katanya. Satu rekening tidak dilanjutkan karena polisi tersebut sudah meninggal dunia. Satu lagi, belum bisa diselidiki karena yang bersangkutan sedang maju sebagai calon bupati. Edward tidak menyebut nama siapa calon bupati itu. Namun, dugaan mengarah pada Aiptu Mochammad Geng Wahyudi yang maju sebagai calon bupati Malang nomor urut 2. Berdasarkan data laporan hasil kekayaan yang diterima KPU Kabupaten Malang, harta Geng mencapai Rp3, 161 miliar. Menurut pengakuan Geng pada KPU, harta itu sebagian besar berasal dari warisan mertuanya. “Edward berjanji, tim akan segera merampungkan LHA yang belum tuntas. “Termasuk yang calon bupati itu. Dia sudah mau klarifikasi setelah proses pemilihan selesai,” katanya. Nanti, semua itu akan dilaporkan ulang kepada PPATK. “Saya tidak tahu mengapa wakil dari PPATK tidak hadir. Yang jelas sudah kami undang, barangkali ada halangan di tengah jalan,” katanya. Soal perkembangan penyidikan terhadap aksi kekerasan yang menimpa aktivis ICW Tama Satrya Langkun, Edward mengaku masih dalam proses pengungkapan. “Info-info penting dari lapangan sudah kami peroleh. Termasuk, siapa saja yang terlibat,” katanya. Namun, karena belum semua tertangkap, Edward meminta masyarakat untuk bersabar. “Yakinlah bahwa polisi sangat ingin segera selesai. Kekerasan terhadap aktivis mencederai demokrasi yang bagi kami itu adalah point of no return (sesuatu yang tidak bisa ditawar, red),” ujar mantan tenaga ahli Lemhanas itu. Pengumuman rekening Polri yang biasa-biasa saja itu langsung disambut kritik kalangan aktivis. Emerson Juntho dari ICW menilai, polisi masih setengah hati melakukan penyelidikan. “Sebenarnya ini sudah kami duga sejak awal,” kata Emerson. Menurut dia, sepanjang penyelidikan hanya dilakukan oleh sesama polisi maka hasilnya akan sama saja. Yakni, dianggap wajar dan tidak ada masalah. “Karena itu, kami melapor ke KPK dan mendorong Satgas untuk melakukan terobosan hukum,” katanya. Terpisah, Ketua Indonesian Police Watch Neta Sanusi Pane menilai polisi ragu-ragu menyampaikan hasil investigasi. “Barangkali ada hambatan psikologis karena sesama polisi,” katanya. (rdl/jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: