Beda Kritik dengan Nyinyir, Begini Pandangan Komnas HAM
JAKARTA - Belakangan tidak sedikit warganet yang tersandung kasus UU ITE karena membuat status di media sosial. Alih-alih ingin menyampaikan kritik, yang ada malah nyinyir.
Kritik berbeda dengan nyinyir. Kritik bersifat membangun dan argumentasinya berdasarkan pada data dan fakta. Tujuannya pun sangat berbeda.
Kritik tidak bertujuan untuk memprovokasi orang lain agar melakukan kebencian berdasarkan pada SARA. Sebaliknya, nyinyir terkadang bisa menghasut orang yang berujung masalah hukum.
Terkait kritik dan nyinyir, bagaimana pandangan Komnas HAM? Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, kebebasan berpendapat dan berekspresi dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis.
Masyarakat berhak menyampaikan pendapat dan ekspresinya melalui kritik dan saran sebagai bentuk pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
“Mengkritik pemerintah sangat boleh karena itu adalah hak konstitusional, namun harus dibangun kultur kritik yang bertanggung jawab. Nyinyir itu mencela dan tidak berdasarkan data, bersifat subjektif karena ketidaksukaan terhadap sesuatu,” ujar Beka, lewat keterangan medianya, Jumat (9/4).
Beka juga mengaitkan kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan isu agama yang sering disebar melalui media-media sosial. Isu agama mudah menyulut emosi orang karena berhubungan dengan kepercayaan terhadap Tuhannya. Padahal tidak setuju dengan ajaran atau keyakinan orang lain adalah hal yang wajar.
Setiap agama pasti memberikan ajaran yang baik dan setiap penganutnya pasti mengklaim bahwa agamanya adalah agama terbaik. Perbedaan keyakinan tidak menjadi masalah, selama tidak menghasut atau memaksa seseorang agar tidak menyukai suatu agama atau keyakinan yang membuat kisruh. (khf/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: