BI Rilis Lima Paket Kebijakan

BI Rilis Lima Paket Kebijakan

JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) kompak merilis paket kebijakan untuk meredakan gejolak ekonomi. Dari sisi otoritas moneter, BI pun berkonsentrasi menjinakkan gerak liar rupiah. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, fokus BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar untuk mendukung kinerja makro ekonomi Indonesia. “Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan pasokan valas (valuta asing) lebih efektif,” ujarnya di Gedung BI kemarin (23/8). Apa saja kebijakan itu? Pertama, BI memperluas jangka waktu Term Deposit Valas yang saat ini 7, 14, dan 30 hari menjadi 1 hari sampai dengan 12 bulan. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan keragaman tenor penempatan devisa oleh bank umum di Bank Indonesia. “Kita ingin pasokan valas di bank makin kuat,” katanya. Kedua, BI merelaksasi ketentuan pembelian valas bagi eksportir yang telah melakukan penjualan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Kebijakan ini bertujuan memberikan kemudahan bagi eksportir melakukan pembelian valas dengan menggunakan underlying dokumen penjualan valas. Ketiga, BI menyesuaikan ketentuan transaksi forex Swap bank dengan Bank Indonesia yang diperlakukan sebagai pass-on transaksi bank dengan pihak terkait. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan kedalaman transaksi derivatif. Keempat, BI merelaksasi ketentuan utang luar negeri (ULN), dengan menambah jenis pengecualian ULN jangka pendek bank, berupa giro rupiah (VOSTRO) milik bukan penduduk yang menampung dana hasil divestasi yang berasal dari hasil penyertaan langsung, pembelian saham dan/atau obligasi korporasi Indonesia serta Surat Berharga Negara (SBN). \'Kebijakan ini bertujuan mengelola permintaan valas oleh nonresiden tanpa mengurangi aspek kehati-hatian bank dalam melakukan pinjaman luar negeri,\' jelas Agus. Kelima, BI menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Kebijakan ini bertujuan memberikan ruang yang lebih luas bagi perbankan untuk mengelola likuiditas rupiah melalui instrumen yang dapat diperdagangkan, yang pada gilirannya dapat mendorong pendalaman pasar uang. Agus menyatakan, lima kebijakan BI tersebut diharapkan dapat bersinergi dengan Paket Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, sehingga bisa meredam ketidakpastian di pasar. “Secara jangka pendek, kami berharap pasar bisa lebih tenang, dan secara struktural bisa mendorong perekonomian menjadi lebih sehat dan sustainable dalam jangka panjang,” ucapnya. Tapi, apakah paket kebijakan pemerintah dan BI tersebut sudah bisa menenangkan pasar? Sepertinya belum. Indikatornya, indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup turun 1 poin, sedangkan Rupiah terus melemah. Data BI berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor), Rupiah kemarin kembali melemah 53 poin ke level 10.848 per dolar AS (USD). Bahkan, data transaksi kompilasi Bloomberg menunjukkan, nilai tukar Rupiah sudah menembus 11.058 per USD. Padahal, kemarin mata uang negara emerging market lain seperti India, Thailand, Malaysia, semuanya menguat cukup signifikan terhadap USD. Managing Director dan Ekonom Senior Standard Chartered Indonesia Fauzi Ichsan mengatakan, peket kebijakan yang dirilis pemerintah dan BI memang bagus untuk jangka menengah dan panjang. Tapi, tidak untuk jangka pendek. “Saat ini, yang diinginkan pasar adalah BI menaikkan suku bunga,” ujarnya kepada Jawa Pos (Radar Cirebon Group) kemarin (23/8). Menurut Fauzi, hal paling urgent yang harus dilakukan pemerintah dan BI saat ini adalah meredam gejolak rupiah agar pasar bisa lebih tenang. Untuk itu, kuncinya adalah menambah pasokan USD untuk mencukupi tingginya kebutuhan. “Sayangnya, eksporter, korporasi, maupun konglomerat yang banyak memegang dolar, tidak mau melepas dolarnya ke pasar,” katanya. Karena itu, lanjut dia, satu-satunya jalan yang bisa ditempuh BI adalah dengan menaikkan suku bunga. Sebab, investor maupun pemegang dolar tidak akan mau menempatkan dananya di Indonesia jika suku bunga tidak naik, padahal inflasi sudah naik tinggi. “Kalau BI ingin menjaga image dengan BI Rate tetap rendah, maka BI bisa memilih menaikkan fasbi (Fasilitas deposit, red). Itu bisa jadi instrumen efektif untuk menarik pemilik dana agar menyimpan dolarnya di perbankan Indonesia,” ucapnya. Senada dengan Fauzi, Johanna Chua, Managing Director, Head of Asia-Pacific Economic and Market Analysis, Citigroup Global Markets Asia, dalam riset terbarunya menyarankan BI agar menaikkan BI Rate sebesar 50 basis poin dari posisi saat ini yang di level 6,50 persen. “BI harus lebih hawkish (bereaksi cepat dengan menaikkan suku bunga, red),” ujarnya. Menurut ekonom yang beberapa kali terpilih sebagai ekonom terfavorit para investor di Asia ini, intervensi BI dengan menggerojok USD ke pasar keuangan tidak akan kredibel di mata investor. “Jadi, jalan yang efektif adalah menaikkan suku bunga, sehingga investor tetap menempatkan dana di Indonesia,” katanya. (owi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: