Pemandu Wisata di Keraton Kasepuhan, Terampil Komunikasi dan Bahasa Asing

Pemandu Wisata di Keraton Kasepuhan, Terampil Komunikasi dan Bahasa Asing

Salah satu magnet wisata di Kota Cirebon adalah Keraton Kasepuhan. Pengelolaan pariwisata di sana terus ditingkatkan, baik dari segi pelayanan dan akomodasi bagi para wisatawan.   JAMAL SUTEJA, Lemahwungkuk   PELAYANAN dan penyambutan yang ramah kepada para wisatawan bisa menarik mereka untuk datang kembali atau menceritakan pengalamannya kepada yang lain. Ujung tombak itu berada di tangan para pemandu wisata yang langsung berhadapan dengan para wisatawan. Sudah lima belas tahun Iman Sugiman berprofesi sebagai pemandu wisata di Keraton Kasepuhan. Waktu yang cukup lama, yang menggambarkan banyaknya pengalaman dan jam terbang di dunia pemandu wisata. Dari lima belas orang pemandu di keraton, ia termasuk pemandu senior. Ia hafal betul dengan sejarah dan seluk beluk keraton. Iman pun sudah banyak mengikuti pelatihan tentang guidenece, baik yang digelar oleh pemerintah pusat, provinsi, maupun kota. Saat ini, ia tidak hanya menjadi pemandu wisata di keraton, tapi juga menjadi pemandu wisata city tour, yang juga memandu ke beberapa tempat wisata di Kota Cirebon. Selain harus menguasi sejarah dan lokasi wisata, ia pun harus terampil berkomunikasi dengan para wisatawan. Salah satunya menguasai bahasa asing. Hal ini menjadi prasyarat bila ingin memandu para turis asing. Bahasa merupakan elemen penting yang harus dimiliki oleh pemandu wisata, supaya para turis asing betah berlama-lama di tempat wisata dan tertarik untuk kembali berkunjung. \"Intinya para pemandu harus bisa melayanai para wisatawan dengan baik dan ramah, dan juga bisa menyampaikan informasi yang dibutuhkan mengenai objek wisata yang dikunjungi,\" paparnya. Menghadapi para tamu dan wisatawan, bukan perkara gampang. Diperlukan kesabaran mengahadapi para tamu yang memilik ragam tujuan. \"Ada yang tujuannya untuk pariwisata dan hiburan, ada yang untuk penelitian ada juga yang hanya sekadar datang saja,\" ungkapnya kepada Radar. Iman menyebut dalam satu bulan rata-rata Keraton Kasepuhan dikunjungi oleh 7.000 hingga 8.000 wisatawan domestik. Sedangkan untuk wisatawan asing rata-rata 300 hingga 500 orang. \"Turis asing yang banyak datang ialah dari Belanda,\" katanya. Menurutnya, dulu sempat ada pemandu yang menguasi bahasa Belanda. Namun saat ini para pemandu belum dibekali dengan bahasa Belanda. Umumnya mereka cukup menguasi bahasa Inggris, sebagai bahasa pengantar saat memandu turis asing. Sementara Mulyawan, atau yang akrab dipanggil Wawang, mempunyai pengalaman yang berbeda. Ia baru tujuh bulan lebih menjadi pemandu di Keraton Kasepuhan. Sebelumnya dari tahun 2007 hingga 2012 ia merupakan salah satu petugas kebersihan di keraton. Tahun 2013 ia diperintahkan oleh sultan untuk menjadi pemandu wisata. Hal ini lantaran saat itu dibutuhkan banyak pemandu karena meningkatnya jumlah wisatawan. Mengabdi di keraton sudah menjadi pilihan hidup Wawang. \"Ayah saya merupakan salah satu abdi keraton. Jadi itu terjadi sudah turun temurun dari ayah saya untuk melanjutkan,\" akunya. Wawang mengaku sebelum menjadi pemandu saat ini, ia menjalani masa training terlebih dahulu selama satu bulan. \"Saya ikut pemandu senior, memperhatikan mereka bagaimana cara memandu wisatwan, belajar sejarah dan asal-usul keraton. Kalau ada yang tidak tahu, saya selalu bertanya kepada yang lebih senior,\" tukasnya. Ia tak pernah mau berhenti untuk belajar, terutama ilmu dari para seniornya yang terlebih dulu sudah menjadi pemandu. \"Kalau ada yang tidak tahu, saya selalu bertanya. Supaya kalau ada yang tanya, saya bisa jawab. Jujur saja bila ada wisatawan yang bertanya dan saya tidak tahu, maka saya bilang tidak tahu,\" katanya. Menurut Wawang, jam kerja para pemandu dari hari Senin-Minggu, dari pagi hingga sore hari. Pada hari Sabtu-Minggu dan hari libur jadwal selalu padat karena ramainya pengunjung. Pengaturan jadwal pemandu disesuaikan dengan absensi. \"Siapa datang lebih awal pagi hari dia dijadwalkan pertama untuk memandu wisatawan, kalau lagi sepi, yang tidak kebagian tugas. Akan mendapat nomor urut pertama di hari esoknya,\" akunya. Secara penuh diperlukan waktu 45 menit hingga satu jam untuk memandu wisata mengelilingi area keraton. Tapi itu juga tergantung permintaan pengunjung. Ada yang meminta waktu khusus dan dipercepat. Ada juga yang sama sekali tidak ingin dipandu. Tapi tetap kita awasi supaya mereka tidak tersasar. Ikhlas meruapakan salah satu hal yang membuat bekerja terasa ringan, walaupun dengan keterbatasan ekonomi. Sebagai pemandu wisata di keraton, ia tak mematok harga kepada para wisatawan. \"Namun, kita selalu berharap bisa diberi uang tip dari para wisatawan,\" ucapnya. Hal berbeda jika wisatawan datang secara rombongan, biasanya mereka harus membayar uang tip sebesar Rp25.000/rombongan. Paling banyak rombongan itu berjumlah 20 orang. Secara praktis, tak ada gaji bagi para pemandu wisata. Mereka hanya mendapat jatah uang paringan dari sultan sebesar Rp50.000/bulan, selain uang tip dari wisatawan. Tiap kali memandu, mereka juga mendapat Rp3.000 hingga Rp4.000 dari harga tiket. (*)   FOTO: ILMI YANFA’UNNAS/RADAR CIREBON PAHAM SEJARAH. Mulyawan atau yang akrab dipanggil Wawang harus menjalani masa training sebelum diangkat menjadi pemandu wisata.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: