Konter Naratif Media Sosial dan Bela Negara

Konter Naratif Media Sosial dan Bela Negara

Oleh: Dr. Ir. A. Adang Supriyadi, S.T., M.M. IPU

SELAMA pandemi COVID 19 menyebar dan menghancurkan seluruh aspek hidup masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia khususnya, tidak membuat para kelompok intoleran, radikalisme dan terorisme mengakhiri aksi terornya.

Fakta ini jelas terlihat dari berbagai aksi teror yang terjadi di tanah air kita. Beberapa aksi teror yang terjadi seperti: aksi teror bom bunuh diri sepasang suami istri yang menyerang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan pada 28 Maret 2021, aksi teror yang menewaskan 4 warga sipil dilakukan oleh 5 anggota kelompok radikal kanan di Poso pada 11 Mei 2021, serta kasus teror penyerangan Mabes Polri pada 31 Maret 2021 oleh perempuan muda berusia 25 tahun.

Selain aksi-aksi diatas, terdapat fakta lain yang dikutip dari laporan akhir tahun kinerja Mabes Polri sepanjang 2020, sebanyak 228 tersangka kasus terorisme telah ditangkap oleh aparat keamanan sepanjang Tahun 2020.

Selain itu, aparat keamanan juga telah mengamankan tidak kurang dari 20.068 kotak amal yang diduga untuk mendanai kelompok teror yang tersebar di 12 daerah pada 17 Desember 2020 silam.

Pada 26 Maret 2021, Aparat keamanan kembali mengamankan 500 kotak amal di Deli Serdang, Sumatera Utara.

Pengungkapan atas kasus pendanaan aksi teror ini merupakan bukti nyata kurangnya kesadaran individu dan kolektif atas pergerakan kelompok teror yang memanfaatkan empati masyarakat Indonesia untuk tujuan sumber pendanaan aksi teror.

Penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) hingga PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang diupayakan pemerintah guna menekan angka penyebaran infeksi virus COVID 19 di Indonesia, ternyata dimanfaatkan oleh kelompok teror menyebarkan propagandanya melalui media sosial.

Aksi mereka di media sosial bertujuan untuk terus menyuarakan keinginanya mendirikan negara sendiri dengan ideologi yang mereka usung. Mereka yakin, adanya pembatasan sosial ini membuat banyak orang berpotensi meningkatkan penggunaan media sosial hingga berkali lipat. Sehingga unggahan propaganda mereka ini akan berpotensi mampu menyebar luas tanpa batas dalam hitungan detik.

Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Kominfo, bahwasanya terdapat peningkatan signifikan 30-40% penggunaan internet di area pemukiman di tengah-tengah masyarakat Indonesia selama masa physical distancing tahun 2020.

Peningkatan aktivitas di internet ini, dimanfaatkan sebagai ruang gerak gratis serta bebas tanpa batas untuk memengaruhi para pengikut kelompok teror dan gencar melakukan rekrutmen hingga penguatan ideologi. Hal ini bertujuan agar para pengikutnya siap melakukan aksi teror sebagai upaya menebar ketakutan global.

Ruang-ruang digital selalu mereka fungsikan sebagai ruang propaganda untuk mengasongkan khilafah. Akibatnya, aksi teror mereka berpotensi memunculkan ketakutan, kerusakan hingga mengakibatkan banyak nyawa tidak berdosa menjadi korban.

Propaganda yang ditebarkan berupa:  ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan sistem pemerintahan yang sah, berikrar mengganti ideologi negara dari Pancasila menjadi Syariah’ (versi mereka). Propaganda ini sangat jelas tidak mencerminkan unsur dasar ketiga dalam Bela Negara yaitu yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara.

Propaganda yang ditebarkan oleh kelompok teror melalui media internet dan media sosial dengan mudah disebarkan para pengikutnya dalam hitungan detik. Secara tidak langsung, para pengikutnya ini menjadi marketeers freelance dalam aksi propaganda kelompok intoleran, radikalime dan terorisme dengan bayaran cuma-cuma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: