Mengelola Stres, Ajak Anak Bercerita tapi Tidak Perlu Detail

Mengelola Stres, Ajak Anak Bercerita tapi Tidak Perlu Detail

TIDAK jarang, saat stres sudah di ubun-ubun, emosi akan keluar. Orang-orang di sekitar menjadi sasaran. Tak terkecuali anak. Mengelola stres itu PR yang berat. Tidak boleh dilewatkan begitu saja oleh orang tua.

Psikolog Saskhya Aulia Prima menuturkan, saat orang tua stres kemudian memilih untuk memendam lalu tetap berinteraksi dengan anak, kadang orang tua tidak 100 persen hadir untuk anak. Selain lebih mudah marah, orang tua berpotensi sulit fokus.

Co-founder Tiga Generasi itu menyebutkan, orang tua stres akan berdampak terhadap perilaku anak. Anak menjadi lebih menantang atau dikenal dengan sebutan anak lebih bandel. Perilaku anak, lanjut Saskhya, tidak sesuai ekspektasi orang tua. ’’Ada penelitian, anak usia 7–11 tahun akan memberikan respons fisik apabila orang tuanya menyembunyikan stres,” terangnya.

Apakah itu saja efeknya? Tunggu, bunda. Masih ada beberapa efek lain yang bisa juga muncul saat parents menyembunyikan stres dan tidak optimal dalam berinteraksi dengan anak.

Pertama, timbul kebingungan pada diri anak. Saskhya mengungkapkan, anak bakal merasa bahwa orang tuanya tidak memiliki waktu 100 persen untuk dirinya. Treatment orang tua kepada anak pun berubah-ubah.

Kedua, anak bakal sulit mengelola stres saat dewasa. Sebab, anak melihat orang tuanya ketika kecil. Orang tua menjadi role model buat anak. Perilaku orang tua terekam di memori anak.

Lantas, bagaimana cara mengelola stres? Saskhya menjelaskan, orang tua bisa menceritakan kepada anak mengapa dirinya stres. Misalnya, karena ada masalah di pekerjaan. Ingat, bunda harus bercerita dengan bahasa yang sesuai usia anak. Cerita tidak perlu sampai detail. Bercerita mulai usia anak masih dini tidak masalah. Cerita saja. Anak usia 1 tahun pun tak apa-apa, cukup cerita yang sederhana. ”Meski anak belum bisa merespons, anak jadi tahu dan menangkap oh begini ya kalau bercerita,” papar alumnus Master’s Degree Clinical Child Psychology Universitas Indonesia itu.

Saskhya mengingatkan, jangan sampai terjebak pada sistem parenting anak mengasuh orang tua di poin berbagi cerita. Sebab, cerita orang tua terlalu berat. Alhasil, anak terbebani.

Saat orang tua telanjur bersikap reaktif kepada anak, yuk ayah-bunda minta maaf kepada anak. Meminta maaf bukan menunjukkan orang tua lemah. ’’Tapi, menunjukkan jika orang tua itu juga manusia lho. Dan, meminta maaf adalah hal yang wajar ketika seseorang salah,” imbuh Saskhya.

Parents, mekanisme mengelola stres juga perlu diperhatikan ya. Salah satunya bisa bergantian dengan pasangan buat mengasuh anak. Misalnya, bunda lagi stres. Bunda bisa istirahat sejenak dan meminta bantuan kepada suami. Self care dulu.

Kemudian, parents jangan lupa untuk mencatat hal-hal yang bisa membuat stres. Tujuannya, jika di kemudian hari orang tua stres, lebih mudah penyelesaiannya. Strateginya bagaimana untuk menangani stres.

MAAF YA, SAYANG

KALAU emosi sudah ditahan, terus meledak, tarik napas, lalu minta maaf ke anak ya. Tidak direkomendasikan anak langsung ditinggal pergi begitu saja. Nah, cara meminta maafnya bagaimana?

– Tulus meminta maaf. Bukan penyanyi Tulus, moms. Ungkapkan rasa bersalah dengan benar-benar tulus kepada anak. Dengan begitu, anak tahu minta maaf yang tulus seperti ini. Tatap wajah anak. Kalau perlu, peluk beberapa saat. Usap kepala anak perlahan.

– Tidak pakai syarat atau ”embel-embel belakang.” Tak jarang, orang tua meminta maaf, tetapi dengan kalimat embel-embel. ”Misalnya, ’Mama minta maaf ya kak. Tadi sudah marah, tapi tadi kakak begini sih’. Jangan ada tapi, minta maaf ya minta maaf,” ujar Saskhya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: