Dualisme Keraton Kasepuhan, Keluarga Mertasinga: Kami Meluruskan yang Tidak Lurus

Dualisme Keraton Kasepuhan, Keluarga Mertasinga: Kami Meluruskan yang Tidak Lurus

CIREBON - Sesepuh keluarga Kasultanan Cirebon jalur Mertasinga menyayangkan polemik perebutan tahta Keraton Kasepuhan yang berujung bentrok antar dua kelompok. Hal tersebut diungkapkan Pangeran Basmudin Arkaningrat selaku sesepuh Keluarga Mertasinga kepada radarcirebon.com, Minggu (5/9).

Pangeran Basmudin Arkaningrat juga menyayangkan adanya beberapa orang dari Mertasinga yang bergabung dengan Raden Rahardjo Djali yang melakukan jumenengan sebagai Sultan Sepuh Aloeda II.

\"Kami memang sudah merasa dirugikan karena nama Family Mertasinga sudah dicatut. Di sana menyatakan bahwa ini (Jumenengan, red) telah didukung oleh Family atau sesepuh Mertasinga. Siapa Mertasinga atau sesepuh yang dukung? Itu hanya beberapa gelintir orang kok. Jadi kami sama sekali tidak mendukung Raden Rahardjo Djali jadi sultan,\" tegasnya.

Pangeran Basmudin menyebutkan, Family Mertasinga bergabung dengan Family Kasultanan Cirebon lainnya termasuk Keraton Kanoman.

\"Insyaallah Kami Family Mertasinga juga sudah merapatkan diri, mulai kumpul-kumpul dan urun rembuk untuk meluruskan yang tidak lurus,\" sebutnya.

Dijelaskan Pangeran Basmudin, jumenengan seorang sultan harus dilakukan di dalam keraton.

\"Kalau Jumenengan sultan itu harus di dalam keraton bukannya di rumah. Jadi yang kemarin jumenengan itu ya tidak sah. Kemudian itu menyultani siapa? Lah kalau sekarang Family nya tidak setuju, apakah itu sultan menjadi sah?\" pungkasnya.

Sementara itu, Patih Kasultanan Kanoman Cirebon Pangeran Patih Raja Muhammad Qodiran mengakui ada perebutan tahta di Keraton Kasepuhan.

\"Polemik tersebut menjadi urusan rumah tangga masing-masing. Keluarga Kesultanan Cirebon yang lain memiliki tanggungjawab untuk meluruskan sejarah. Khususnya keluarga yang masih keturunan Sunan Gunung Jati langsung. Ibarat sebuah pohon itu ada batang yang besar dan ada ranting. Kami mencoba meluruskan yang batang besarnya bukan ke rantingnya. Jadi yang belum lurus harus diluruskan,\" ujarnya ditemui radarcirebon.com usai peresmian Sekretariat 2 Kasultanan Kanoman di Komplek Makam Sunan Gunungjati Cirebon, Minggu (5/9).

Patih Qodiran menuturkan, munculnya dualisme Sultan di Keraton Kasepuhan dianggap sebagai dagelan saja. Sebab, pengukuhan kedua kubu tidak sesuai pakem adat.

\"Ada kriteria yang harus ditempuh oleh calon sultan sebelum dilantik. Berdasarkan pakem Kasultanan Cirebon, ada beberepa kriteria pelantikan Sultan Cirebon. Yaitu anak laki-laki tertua dari garis permaisuri. Kemudian jumenengan harus di singgasana Prabayaksa keraton. Apapun kondisi dan alasannya jumenengan harus di singgasana bukan di tempat lain atau bukan di rumah,\" tuturnya.

Prosesi pelantikan sultan, menurut Patih Qodiran, harus disaksikan oleh keluarga besar, sesepuh, pangeran dan masyarakat umum.

\"Dalam prosesi pelantikan sultan harus menggunakan baju kebesaran ala Dodot dengan mengenakan mahkota raja. Kemudian, yang melantik sultan adalah rama patih atau adik dari sultan sebelumnya. Kalau tidak ada rama patih bisa digantikan oleh Ratu Dalem dari permaisuri. Kalau sultan punya lebih dari satu permaisuri maka tetap memilih satu ratu dalem itupun penetapannya disaksikan oleh keluarga untuk menentukan putera mahkota dari anak sultan berikutnya. Kemudian simbol penyerahan pakai puluk,\" paparnya.

Patih Qodiran menjelaskan, pepakem tersebut sudah baku dan berlaku di Kasultanan Cirebon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: