Stop Saling Klaim Kemenangan
*Tunggu Hasil Resmi KPU KUNINGAN – Fenomena pasca pencoblosan menarik perhatian banyak pihak. Tak terkecuali para akademisi dan pemerhati demokratisasi di Kuningan. “Sungguh menarik fenomena pilkada pasca pencoblosan. Hal ini karena quick count (hitung cepat) yang diharapkan dapat memberi informasi awal yang akurat tentang siapa yang terpilih, namun dalam Pilkada Kuningan justru sebaliknya. Hasil quick count yang dirilis beberapa lembaga survei hasilnya saling bertolak belakang,” ungkap akademisi dari UIN Bandung, Uu Nurul Huda MH kepada Radar kemarin (17/9). Akibat dari perbedaan versi tersebut, dua pasangan calon (paslon) Utama dan Rochmat saling klaim kemenangan dengan perolehan angka masing-masing saling berbeda. Hal ini menjadikan situasi \"riuh politik\" dan membingungkan masyarakat. “Menurut hemat saya, ada baiknya tiap paslon dan timses (tim sukses, red) dapat menahan diri, karena hasil quick count tidak menjadi dasar penentu kemenangan pilkada ini,” kata kandidat doktor tersebut. Disebutkan, penentu kemenangan pilkada adalah tahapan penghitungan yang terjadi di TPS, PPS, PPK dan terakhir di KPU. Oleh karenanya, dalam rangka mendidik masyarakat ada baiknya setiap paslon dan timses tidak saling perang opini kemenangan yang berlebihan dan bombastis. Setiap paslon dan timses, imbuh dia, diharapkan untuk membangun kesadaran bersama bahwa mereka bukan hanya siap menang, tapi juga siap kalah serta menerima apapun hasil penghitungan akhir di KPU nanti. “Saya khawatir perang opini ini hanya akan melahirkan sekelompok masyarakat menjadi fanatik, sehingga ketika hasilnya berbeda dengan yang diopinikan, khawatir pendukung fanatik tidak terima, menimbulkan gesekan bahkan bentrok. Kondisi ini tentu sangat tidak diharapkan oleh siapa pun warga Kuningan,” tandasnya. Untuk itu, Uu berharap kepada masing-masing paslon ataupun para pendukungnya untuk menyetop perang opini kemenangan. Lebih baik tunggu saja hasil resmi dari KPU. Siapa pun yang ditetapkan oleh KPU maka itulah pemenang sebenarnya. “Dan jika penetapan hasil pilkada KPU itu ditolak, maka lakukan melalui upaya hukum, bukan dengan unjuk kekuatan massa ,” ucapnya. Upaya hukum yang dimaksud yaitu mengajukan gugatan perselisihan hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Karena berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan MK adalah memutus sengketa hasil pemilu yang putusannya merupakan putusan pertama dan terakhir, serta bersifat final dan mengikat. Terpisah, seorang akademisi Uniku, Edi Nugraha MH pun mengutarakan hal senada. Berdasarkan hasil obrolannya dengan masyarakat, begitu banyak orang yang merasa heran mendengar kabar kemenangan pasangan calon. “Sore itu pada hari pencoblosan kok sudah ada versi perolehan suara yang mengungkapkan kemenangan. Padahal hasil quick count lembaga survei belum 100 persen,” katanya. (ded)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: