Jimly-Yusril Ribut soal Etika

Jimly-Yusril Ribut soal Etika

JAKARTA- Advokat Yusril Ihza Mahendra terus mendapat serangan. Ini setelah dirinya menjadi kuasa hukum empat orang yang menggugat AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA). Yang terbaru, sindirian datang dari anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu menilai seorang advokat yang menjabat ketua umum partai politik sulit diterima etika kepantasan. Apalagi ikut mempersoalkan AD/ART partai lain.

Hal itu Jimly sampaikan melalui akun Twitter @JimlyAs, Sabtu (2/12). “Tapi perlu diingat juga, tegaknya hokum dan keadilan harus seiring dengan tegaknya etika bernegara. Meski UU tidak eksplisit larang advokat jadi ketum parpol, tapi etika kepantasan sulit diterima. Apalagi mau persoalkan AD parpol lain. Meski hukum selalu tertulis, kepantasan dan baik-buruk bisa cukup dengan sense of ethics,” tulis Jimly.

Seperti diketahui, Yusril adalah Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB). Di sisi lain, Yusril juga berprofesi sebagai advokat. Disindir seperti itu, Yusril pun meresponsnya.

Mantan Mensesneg ini menyebut Jimly meninggalkan warisan yang memalukan di MK. “Prof Jimly batalkan UU KY (Komisi Yudisial) yang mengatur kewenangan KY untuk mengawasi etik dan perilaku hakim. Sehingga KY tidak bisa mengawasi hakim MK. Ini legacy paling memalukan dalam sejarah hukum kita ketika Prof Jimly menjadi Ketua MK,” kata Yusril Ihza Mahendra, Minggu (3/10).

“UU Kekuasaan Kehakiman tegas memerintahkan agar hakim mundur menangani perkara kalau dia berkepentingan dengan perkara itu. Di mana etika Prof Jimly,” lanjut Yusril.

Dia juga menyayangkan tidak ada hakim yang berbeda pendapat saat MK membatalkan UU KY. Seharusnya, lanjut Yusril, hakim MK menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri.

“Namun tidak seorang pun yang mengemukakan dissenting opinion. Misalnya mengatakan,” Tidaklah etis MK menguji UU yang para hakim MK sendiri berkepentingan dengannya,” terang Yusril.

Dia menjelaskan tokoh pengujian materiil bukan hanya bisa dilakukan MK. Legislative review juga bisa. “Akan lebih memenuhi etika kepantasan jika menyatakan tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut dan menyerahkannya kepada legislative review,” paparnya.

Yusril menegaskan penguji AD/ART Demokrat bukahlah dirinya. Kewenangan mengabulkan atau tidak judicial review terhadap AD/ART Partai Demokrat berada di tangan hakim MA.

“Saya hanya bertindak sebagai advokat yang membela kepentingan hukum pemberi kuasa. Dikabulkan atau ditolak permohonan ke MA, itu sepenuhnya kewenangan majelis hakim. Lain halnya jika saya, yang ketua partai, memeriksa dan memutuskan JR AD/ART partai lain,” tukasnya.

Yusril menyatakan posisinya sebagai advokat terkait uji materi AD/ART Partai Demokrat tidak menyalahi UU dan kode etik advokat. Menurutnya, justru etika kepantasan Jimly yang seharusnya dipersoalkan.

“Apa yang saya lakukan juga tidak ada yang menyalahi UU Advokat dan Kode Etik Advokat. Namun, Prof Jimly mempersoalkannya dari sudut etika kepantasan. Hal yang sama bisa juga dijadikan sandaran untuk mempersoalkan etika kepantasan para hakim MK, termasuk Prof Jimly,” tutup Yusril. (rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: