Tak Memliki Dasar Hukum, Permendikbudristek PPPK Minta Dibatalkan

Tak Memliki Dasar Hukum, Permendikbudristek PPPK Minta Dibatalkan

ANGGOTA Komisi X DPR Ledia Hanifah menilai, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) tidak memiliki dasar hukum. Untuk itu, Ia mengusulkan agar Permendikbudristek PPKS ini dibatalkan.

“Secara mendasar kita perlu ingat bahwa setiap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal ini Mendikbudristek harus mengacu pada Undang-undang No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Ledia dalam keterangannya, Selasa (9/11/2021).

“Saya berharap, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini dibatalkan,” sambungnya.

Menurut Ledia, di dalam pasal 8 ayat 2 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Peraturan Menteri bisa memiliki kekuatan hukum mengikat manakala ada perintah dari peraturan perundangan yang lebih tinggi.

“Maka, terbitnya Peraturan Menteri ini menjadi tidak tepat, karena undang-undang yang menjadi “cantolan” hukumnya saja belum ada,” ujarnya.

Ledia menambahkan, ada beberapa muatan dalam isi Peraturan Menteri ini jauh dari nilai-nilai Pancasila, bahkan cenderung pada nilai-nilai liberalisme.

“Sangat disayangkan bahwa satu peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan terkait kekerasan seksual justru sama sekali tidak memasukkan landasan norma agama di dalam prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang termuat di pasal 3,” imbuhnya.

Padahal, kata Ledia, Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan.

“Selain ketiadaan landasan norma agama, muatan-muatan peraturan itu banyak memasukkan unsur liberal dalam mengambil sikap. Definisi kekerasan seksualnya menjadi bias, misalnya saja ketika memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada “penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender”,” terangnya.

Terlebih lagi, lanjut Ledia, Peraturan Menteri ini memasukkan persoalan “persetujuan” atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan sebagaimana bisa ditemukan pada pasal 5 ayat 2. Bahwa, beraneka tindakan atau perilaku akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban.

“Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya. Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks bahwa dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini,” tegasnya.

Ledia memberi contoh betapa banyak terjadi hubungan seks di luar nikah yang diawali dengan persetujuan atau suka sama suka. Juga mulai bermunculannya perilaku LGBT secara terang-terangan di tengah masyarakat.

“Padahal dalam norma agama, seks di luar nikah, juga perilaku LGBT bukan sesuatu yang dibenarkan,” ucapnya.

Secara keseluruhan Ledia melihat, bahwa isi dari peraturan itu belum dapat memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum, melainkan hanya sekadar menyampaikan sanksi administratif internal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: