Perppu MK Bisa Langgar Aturan
JAKARTA - Rencana presiden untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mendapat respons dari MPR. Lembaga tinggi negara itu menilai rencana mengeluarkan perppu belum memenuhi syarat awal. Yakni, aturan tersebut hanya dibutuhkan saat ada kegentingan yang memaksa. Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin dalam diskusi di perpustakaan MPR, Jakarta, kemarin (7/10). Menurut Lukman, dirinya tidak menemukan adanya urgensi diperlukannya perppu. \"Ini membuat perppu kok diumumkan lebih dulu, kegentingan yang memaksa di mananya?\" ujar Lukman. Pengumuman untuk membuat perppu saja, lanjut Lukman, adalah sebuah permulaan yang aneh. Secara prosedur, perppu harus dibuat segera oleh inisiatif presiden. Sebab, presiden mendapat keistimewaan untuk membuat dasar hukum yang mendesak. Kenyataannya, pernyataan akan dibuatnya perppu baru sebatas pengumuman dari pemerintah. \"Kenapa tidak sekalian membuat undang-undang saja dan prosesnya dipercepat,\" katanya. Di dalam perppu tersebut, kata Lukman, ada kemungkinan presiden memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mengawasi MK. Pengaturan itu dinilai Lukman tidak etis karena presiden akan menghidupkan lagi aturan yang dibatalkan MK pada 2006. Menurut Lukman, jika harus mengatur posisi KY dalam pengawasan MK, presiden harus menetapkannya dalam aturan yang lebih tinggi. \"Jalan keluarnya, menurut saya, harus melalui (amandemen) Undang-Undang Dasar,\" ujar wakil ketua umum Partai Persatuan Pembangunan itu. Pengamat Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin juga menilai prosedur pembuatan perppu oleh presiden salah sejak awal. Sebab, konteks perppu yang merupakan hak keistimewaan presiden malah dibicarakan dalam rapat konsultasi dengan lembaga tinggi negara, termasuk DPR. \"Kalau DPR memberikan masukan (terhadap perppu), tidak perlu ada undang-undang,\" sindir Irman. Menurut dia, parlemen atau DPR diharamkan untuk membantu presiden dalam menyusun perppu. Biarkan perppu menjadi urusan presiden karena DPR akan menilai aturan tersebut saat sudah berlaku. \"Ada bola lanjutan. Bahwa jika tidak disetujui, ini bisa jadi hak menyatakan pendapat,\" kata Irman. Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun menambahkan, yang harus ditekankan saat ini adalah momen perbaikan MK. Dalam hal ini, lembaga dan pihak mana pun tidak boleh mendelegitimasi kewenangan MK. Termasuk, rencana pembahasan RUU pemilihan kepala daerah yang ingin mengembalikan sengketa hasil ke pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. \"Betapa pun buruknya MK, jika sengketa dikembalikan ke MA dan pengadilan, kondisinya akan lebih buruk lagi. Saya menilai tetap MK, tetapi paradigma ini diterima sebagai pemilu (pemilihan langsung). Kecuali pemilihan oleh DPRD, dia harus ke MA,\" tandasnya. (bay/c7/tom)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: