10 Juta Unit Diduga Ilegal

10 Juta Unit Diduga Ilegal

JAKARTA- Puluhan orang telah menjadi korban tewas dan luka akibat ledakan gas elpiji 3 kilogram. Pemerintah didesak untuk tidak membiarkan hal itu terus berlangsung dengan menarik peredaran gas elpiji 3 kilogram. Desakan disampaikan dalam aksi unjuk rasa yang digelar Kongres Rakyat di Menteng, Jakarta Pusat, kemarin (18/7). Dalam aksi teatrikal tersebut, ratusan tabung gas disebar di halaman, menggambarkan ratusan korban tewas dan luka akibat ledakan gas elpiji. Sejumlah tabung juga ditempeli stiker “bom”, menunjukkan ledakan tabung gas di dapur rumah-rumah penduduk miskin lebih mengerikan dibanding aksi teroris yang meledakkan bom di hotel-hotel mewah. “Bom tabung gas elpiji adalah penyebab kematian paling popular saat ini. Ini adalah tragedi kemanusiaan, jangan bodohi rakyat dengan menuding kebodohan masyarakat sebagai biang kerok, karena sesungguhnya ada yang salah dengan tabung gas elpiji 3 kilogram,” ujar salah satu orator dalam aksi unjuk rasa kemarin. Dalam aksinya, Kongres Rakyat menuntut pemerintah bertanggung jawab dengan memberikan pengobatan pada korban, menarik peredaran tabung gas elpiji, dan mengusut dugaan praktik mafia dan KKN dalam konversi minyak gas ke elpiji. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Industri Tabung Baja (Asitab) Tjiptadi mengatakan, dari 40-an juta tabung gas yang beredar, seperempat di antaranya diduga ilegal. Itu disebabkan sebagian masyarakat yang tidak kebagian paket elpiji gratis dari Pertamina membeli di pasaran dengan harga murah. “Kami memperkirakan, peredaran tabung ilegal setidaknya mencapai 10 juta unit,” katanya kemarin. Berdasar hasil pengujian, kualitas tabung elpiji ilegal tersebut jauh berada di bawah ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) karena diproduksi tidak melalui proses yang semestinya. Produk tabung ilegal itu tidak menggunakan baja standar yang diproduksi PT Krakatau Steel sehingga mudah bocor. “Kualitas tabung elpiji ilegal yang tidak ada emblem SNI itu jauh di bawah ketentuan SNI. Padahal, tekanan tabung tersebut sangat tinggi,” ungkapnya. Sementara itu, tabung ber-SNI juga bisa berisiko jika penanganannya asal-asalan. Seperti yang pernah dijumpainya, pemindahan tabung gas dilemparkan dan dijatuhkan dari atas truk. Maka, kualitasnya pun dipertanyakan. Namun, jumlah kecelakaan akibat buruknya kualitas tabung sebenarnya tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan akibat ausnya slang atau regulator. “Dari beberapa kejadian tahun ini, yang disebabkan bocornya tabung gas hanya 2 persen,” paparnya. Berdasar survei di setiap kejadian kebakaran atau ledakan disimpulkan, kejadian terbesar bukan akibat ledakan tabung gas, melainkan kebocoran gas dari katup (valve), regulator, slang, rubber seal, dan kelalaian manusia. Salah satu penyebab kebocoran gas adalah pengoplosan gas dari tabung 3 kilogram ke 12 kilogram atau 40 kilogram. “Itu karena ada selisih harga yang cukup besar antara gas di tabung 3 kilogram dibanding gas di tabung yang lebih besar,” terangnya. Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Ito Sumardi menyatakan telah menindak sejumlah orang yang diduga melakukan penyimpangan terhadap elpiji bersubsidi 3 kilogram. Salah seorang di antaranya ada di Bantar Gebang, Bekasi, yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp2,7 miliar per bulan. “Gas subsidi dimasukkan ke tabung nonsubsidi, juga dikurangi volumenya,” ungkap Ito. Menurut dia, tindakan pengoplosan itu sangat berbahaya karena dapat merusak struktur alat sehingga rawan kecelakaan. Namun, Ito memaparkan bahwa kecelakaan justru lebih banyak terjadi pada tabung elpiji 12 kilogram akibat tindakan pengoplosan seperti itu. “Dari 40 kasus kecelakaan elpiji yang terjadi selama 2010, 25 kasus di antaranya justru terjadi pada tabung 12 kilogram. Hanya 15 kasus yang terjadi pada tabung 3 kilogram,” jelasnya. (wir/kuh/noe/c9)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: