Cirebon Darurat Sampah

Cirebon Darurat Sampah

Oleh: Fathan Mubarak*

NARASI isu lingkungan bisa kita dapat dari Pollution in Java 1600-1850. Jika buku Collapse yang ditulis Jared Diamond mengabarkan kehancuran peradaban-peradaban besar yang dipicu oleh kerusakan lingkungan, maka tulisan Luc Nagtegaal mengisyaratkan betapa kerusakan lingkungan memiliki korelasi kuat dengan meningkatnya industrialisasi.

Luc punya perhatian tersendiri pada Jakarta yang saat itu bernama Batavia. Hanya dalam satu dekade sejak didirikan pada 1619, Batavia sudah memiliki banyak pusat produksi dengan segenap eksesnya: arus urban meningkat, aktivitas dan kebutuhan meningkat, volume limbah pun naik pesat.

Pada 1630, 13 sungai di Batavia berikut sodetannya dipenuhi abu, batu kapur, daun-daun palem, juga bangkai ikan dari pasar-pasar. Sistem sanitasi yang buruk membuat kanal-kanal dipenuhi kotoran manusia. Keadaan akan berkali lipat lebih menyeramkan saat kemarau dan aliran-aliran air mulai mengering. Sementara pabrik penyulingan arak, batu bata, gula, juga mesiu, terus menghasilkan limbah dan polusi berbahaya.

Buruknya lingkungan mengakibatkan Batavia mengalami krisis kesehatan. Orang-orang jatuh sakit dan mati. Kapal-kapal hanya berlabuh di kejauhan pantai untuk menghindari angin darat Batavia yang membawa terutama kolera, disentri dan muntaber. Dalam rentang itu, lebih dari 85.000 jiwa meninggal karenanya.

Pemerintah Hindia Belanda telah berusaha keras membenahi. Dan tak pernah berhasil. Hingga pada tahun 1707, mereka melakukan kerjasama dengan orang-orang Tionghoa. Luc mencatat ini sebagai penanganan masalah yang justru memunculkan masalah. Sebab sampah-sampah yang ditangani orang Tionghoa—belakangan diketahui, ternyata hanya dialihkan ke laut.

Ketidakberdayaan Belanda di hadapan isu lingkungan tidak hanya terjadi di Batavia. Pada saat yang sama, di kampung halaman mereka sendiri, masalah sampah dan limbah sama sekali tak tertangani: tiga kanal utama dengan sabuk-sabuknya yang membelah Netherland, tidak kalah mengerikan dari Ciliwung.

Rumah-rumah tampak kumuh. Jalanan becek dan bau. Sampah dan limbah-limbah baur bersama kolera yang pada paruh pertama abad 19 menelan banyak korban. Amsterdam pun menjadi “the most unhealthy place in the world”, tulis seorang pelancong Jerman yang berkunjung ke sana pada tahun 1838.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: