Ada juga Uang Keamanan
KEJAKSAN – Ada pengakuan menarik yang disampaikan seorang anggota DPRD Kota Cirebon terkait fee proyek yang selama ini hangat diberitakan di media. Anggota DPRD yang enggan dikorankan identitasnya itu mengakui adanya uang keamanan untuk melindungi pengusaha yang sudah ditunjuk untuk memenangkan proyek. “Kalau ini saya alami sendiri. Saya kok yang mengerahkan massa untuk pengamanannya. Kalau kasus ini masuk ke ranah hokum. saya siap jadi saksinya,” ujar dia, berapi-api. Menurutnya, memang tidak mudah untuk mengungkap persoalan fee proyek. Namun, untuk persoalan uang keamanan, pria ini bersedia mengungkapkan, lantaran dia sendiri mengetahui dan mengalami langsung. “Itu yang turun teman-teman saya sendiri,” ucap dia. Lantas, bagaimana cara pengamanannya? Aggota DPRD dua periode ini mengungkapkan, sistem pengamanan dibangun seperti layaknya pagar, dan besarnya pengamanan itu sekitar Rp300 juta. Pengerahan massa yang kebanyakan preman dilakukan untuk menangkis kedatangan pengusaha jasa konstruksi lain, datang. Caranya, ada yang menggunakan uang, tetapi ada juga yang mesti dengan kekerasan. Untuk uang yang diberikan sebagai kompensasi agar pengusaha jakon lain tidak ikut tender dengan besaran bervariasi. Untuk pengusaha jakon “ecek-ecek” kompensasinya hanya Rp250 ribu atau biasa juga disebut “uang fotokopi” sebagai pengganti berkas-berkas untuk persyaratan ikut tender. Tetapi, ada juga pengusaha jakon yang diberikan uang sampai Rp1 juta agar tidak ikut tender. Bagaimana kalau uang tidak mempan? Untuk pengusaha yang tak mempan disuap dengan “uang fotokopi” ataupun uang kompensasi, seringkali digunakan kekerasan agar tidak ikut tender. “Ingat nggak, kasus kantor DPUPESDM (Dinas Pekerjaan Umum Perumahan Energi dan Sumber Daya Mineral) yang dirusak dan akan dibakar? Kenapa coba nggak berani lapor? Kalau lapor, ya nyanyi itu si.... (menyebut nama pelaku), bisa kena semua,” ungkapnya. Adanya tim pengamanan, lanjut dia, diperlukan karena pengusaha yang diskenario-kan menang tender, memang sudah menyetor sejumlah uang kepada pejabat-pejabat berwenang. Biasanya, pengusaha tersebut membawa tiga atau empat rekanan untuk ikut sebagai kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek plat merah tersebut. “Hayo mau sampai mana pembuktiannya. Saya mengalami langsung, saya siap jadi saksi kalau sampai ke persidangan. Saya seret semua itu mereka,” tandasnya. DUKUNG PENGUNGKAPAN Di tempat lain, Ketua Gapura H Teguh Prayitno menyatakan mendukung adanya pengungkapan, baik 3 persen maupun 8 persen. Dengan catatan narasumber yang selama ini memberi informasi harus muncul ke permukaan. Karena pasti masyarakat Cirebon mendukung untuk suatu hal yang sifatnya pemberantasan korupsi. Dan pihaknya siap membawa persoalan ini ke ranah hukum. “Kami siap bawa persoalan fee ini ke Kejaksaan Agung, bahkan ke KPK. Kalau memang (berita) itu benar. Kalau memang ada bukti-bukti tertulisnya. Sehingga, tidak hanya meresahkan dan bukan hanya mencari popularitas. Tunjukkan batang hidungnya, kami siap mengawalnya sampai ke ujung langit pun,” terangnya ditemui koran ini di warung nasi samping gedung Pengadilan Negeri Cirebon, Jl Wahidin. Menurut Teguh, sebaiknya para penegak hukum proaktif mendalami kabar fee 3 dan 8 persen ini. Agar tidak terus jadi polemik di media. Karena ini menyangkut keuangan negara dan rakyat yang dirugikan. Begitupun dengan kejaksaan yang berkali-kali menyatakan tidak pernah mendalami persoalan fee ini, sementara di tempat lain ada pihak yang mengaku telah diperiksa. Akhir-akhir ini juga mencuat kabar tidak transparan soal lelang proyek DAK di Disdik. Padahal mestinya baik soal proyek DAK maupun lelang proyek lainnya bisa dilakukan transparan, dan masyarakat berhak tahu. Karena persoalan lelang yang diduga tidak transparan ini sebenarnya yang menjadi akar permasalahan seluruh ketidakpuasan dan fee-fee yang ada. (yud/hen)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: