Internal KPU Saling Lempar soal Anggaran

Internal KPU Saling Lempar soal Anggaran

CIREBON – Saling lempar tanggung jawab kembali dipertontonkan oleh anggota komisioner dan sekretariat KPU. Saat koran ini menanyakan rincian atau selisih anggaran debat dari Rp120 juta menjadi Rp30 juta, kedua instansi itu saling lempar. KPU menyatakan yang tahu adalah sekretariat, sebaliknya sekretariat menunjuk KPU yang paling paham. Kepada Radar, Ketua KPU Kabupaten Cirebon Drs Iding Wahidin MPd mengaku, tidak tahu menahu persoalan rincian anggaran debat tersebut, karena yang tahu persis soal anggaran adalah sekretariat atau sekretaris. “Soal rincian anggaran saya tidak paham. Tapi yang jelas tidak ada ketimpangan apa pun dalam anggaran, semua detail anggaran intinya akan kita pertanggungjawabkan kok. Bahwa sekarang belum rinci loh ya belum waktunya,” ujar Iding kepada Radar, Rabu (30/10). Untuk lebih detail soal anggaran, kata Iding, dia mempersilakan bertanya kepada sekretaris KPU. Yang jelas, berapa pun nominalnya, termasuk Rp1.000 perak akan dipertanggungjawabkan. Sebab, ini adalah uang rakyat. “Tidak ada anggaran fiktif di sini. Kami jamin tidak akan ada penyelewengan anggaran apa pun. Itu sudah ada aturannya kok di dalam undang-undang. Gak pake jaminan dan kami akan pertanggungjawabkan, karena pengelolaan anggaran yang kami lakukan itu sesuai prosedur. Kalau hitungan-hitungan seperti tadi saya tidak paham betul. Saya yakin betul ke Radar saja sudah Rp30 juta, belum sewa hotel, pengadaan baju PPK 200 orang, dan itu pasti kami pertanggungjawabkan kok, yakin,” jelasnya. Saat disinggung apakah KPU siap jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan mengaudit anggaran pilbup di putaran pertama, Iding menyatakan siap. “Lah wong kita sudah biasa kok kalau BPK turun, bukan sesuatu yang aneh lagi. Pileg BPK turun, pilbup turun, dan itu bukan menjadi sesuatu yang baru. Siap atau tidak itu adalah tuntutan undang-undang kita akan mengikuti prosedur yang ada. Kita sudah biasa didatangi BPK dan itu adalah sesuatu yang normatif sesuai peraturan yang ada,” ucapnya. Apapun risiko yang diambil dari pekerjaan ini, kata Iding, maka harus dihadapi termasuk pelaporan yang baik dan benar. “Kita tidak mencari kejanggalan dari proses pilkada ini, tapi bagaimana anggaran ini dikelola dengan baik sesuai prosedur keuangan. Saat kembali ditanya masuknya pengadaan baju PPK 200 orang, snack, sewa hotel dan beberapa peralatan lainnya yang semestinya terpisah, kenapa dimasukkan dalam anggaran debat kandidat Rp120 juta, Iding menjelaskan, anggaran itu bukan hanya untuk satu kegiatan debat kandidat, tapi untuk media mulai dari pengumuman beberapa tahapan sosialisasi, hingga masa kampanye. “Untuk debat kandidat memang ada anggaran tersendiri, termasuk untuk media. Rp30 juta itu untuk tayangnya, sedangkan sisanya itu kan untuk hotel, konsumsi. Belum lagi termasuk pengadaan logistik. Itu kan debat, jadi kita ngundang PPK dan lain lain. Intinya tidak ada yang fiktif sama sekali termasuk satu rupiah pun akan kami pertanggungjawabkan, untuk rincian sendiri saya tidak paham, karena adanya di Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),” katanya. Iding juga mengaku, tidak kondusifnya internal KPU karena ada miskomunikasi antara sekretariat dengan komisioner. Hal tersebut bisa terjadi, sebab, kedua elemen memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Dan miskomunikasi itu adalah wajar dan manusiawi. “Semua kegiatan yang harus terkoordinasi dengan lingkungan kantor iya emang itu pasti. Bahasa saya yang menyatakan terkesan menyalahkan sekretariat itu harus difasilitasi, karena ini undang-undang oleh sekretariat, tapi bukan KPU tidak tahu, tentu KPU tahu tapi wajib difasilitasi, sesuai aspek-aspek logistik alat-alat peraga,” terangnya. Terkait penyewaan gudang dalam sortir surat suara, kata Iding, memang itu adalah kewenangan dari divisi logistik H Munajim. Lantas tidak berbicaranya H Munajim di hadapan media saat diwawancara, karena komisioner membagi tugas masing-masing. “Tidak elok juga kenapa semua orang itu harus bicara. Betul ada lima divisi di sini, tapi ketika bicara keluar itu kan kita harus satu suara. Sudah tidak ada masalah kok, sekarang lagi dibereskan. Gak ada persoalan yang berarti, kita kompak-kompak aja kok,” ucapnya. Iding mengaku, telah meminta maaf kepada pemilik gudang jika benar-benar ini menjadi persoalan. “Kalau itu memang dianggap salah teknis dan persepsi selalu saya katakan berulang-ulang saya minta maaf. Tapi bukan berarti itu persoalan yang rumit, tapi saya pikir itu hanya miskomunikasi saja,” tuturnya. Saat dikonfirmasi, Sekretaris KPU Sonson M Ichsan MM enggan diwawancara dan membeberkan rincian pengguna anggaran pilkada meskipun hanya satu poin. “Sudah lah sama ketua saja sudah cukup,” singkatnya. Anggota banggar (badan anggaran) Aan Setiawan SH mengatakan, tidak mengetahui rincian anggaran pilkada di putaran pertama. Hanya saja, pada saat rapat, anggaran itu Rp26 miliar, tapi ketika pengesahan tiba-tiba menjadi Rp30 miliar. “Tentu ini juga menjadi pertanyaan buat kita dengan teman-teman Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Tapi acc Rp30 miliar itu katanya ada persetujuan dari empat orang pimpinan DPRD, dari Rp26 miliar jadi Rp30 miliar,” ucapnya. Terkait pengguna anggaran di internal KPU, pihaknya mengaku, tidak mengatahui secara detailnya seperti apa. Tapi yang dipahami dirinya, internal KPU seperti ada selisih paham antara sekretariat dan komisioner. “Kalau sudah seperti ini, kita juga akan cari tahu ada apa di balik semua ini. apakah betul anggaran debat dari Rp120 juta menjadi Rp30 juta, ini akan menjadi bahan kita untuk mencecar sejumlah pertanyaan di rapat berikutnya dengan KPU,” terangnya. Dikatakannya, temuan ini, menjadi modal awal untuk mengetahui sejauh mana pengguna anggaran sebesar Rp30 miliar itu oleh KPU. Di samping itu, juga ada anggaran yang sangat besar untuk digunakan KPU terkait sosialisasi hingga Rp900 juta. “Rp900 juta itu untuk di tingkat kabupaten. Sementara  di bawahnya hanya sebatas puluhan juta. Tentu ini juga yang akan menjadi pertanyaan kita. Dan faktanya, sampai sekarang KPU belum bisa menjawab pertayaan-pertanyaan itu,” tukasnya. Yang menjadi anehnya lagi, kata Aan, untuk anggaran putaran pertama saja belum dapat dipertanggungjawabkan dari angka Rp30 miliar, bukan kemudian langsung mengajukan anggaran pilbup putaran kedua. “Selesaikan saja dulu, kalau sudah beres baru mengajukan. Walaupun memang saya secara pribadi, sengkata pilkada ini kan masih tetap di MK, barang kali satu putaran atau dua putaran kita juga tidak tau,” tegasnya. Aan menjelaskan, jika KPU memaksakan kehendak untuk meminta anggaran di putaran kedua, maka anggaran putaran pertama harus dipertanggungjwabkan terlebih dahulu. Kalau sudah beres tentunya DPRD pun juga siap memproses anggaran pilkada putaran kedua. “Kalau KPU dalam waktu 60 hari dapat mempertanggungjawabkan laporan keuangan di putaran pertama, tentu kami anggarkan. Tapi orang sekarang saja putusan MK soal gugatan juga belum pasti, maka tahapan berikutnya itu harus menunggu keputusan MK,” terangnya. Dikatakan Aan, seandainya terjadi putusan MK bahwa harus ada pilbup ulang di sembilan kecamatan atas tuntutan Luthfi-Arimbi, tentu semuanya akan mubazir, apalagi surat suara yang sudah dicetak. Terkait anggaran Rp120 juta yang dianggarkan untuk debat kandidat, sementara penyelenggara Radar Cirebon TV hanya diberi Rp30 juta, maka menjadi suatu permasalahan baru, dan ini bisa diusut ke ranah hukum. “Banyak masalah di dalam internal KPU, baik anggaran maupun mekanisme pelaksanaan pilbup. Kalau semuanya sudah dirangkum, maka kita akan serahkan ke BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terkait beberapa temuan di lapangan,” ucapnya. Ketika sudah diserahkan, maka BPK harus menindaklanjuti. Karena BPK bagaimanapun dapat bekerja sesuai perintah DPRD. “BPK boleh masuk areal KPU, jika ada rekomendasi dari DPRD,” paparnya. Wakil ketua komisi I itu menyayangkan dari 20 komisioner yang lolos seleksi, tiga di antaranya adalah wajah anggota komisioner sekarang. Secara pribadi, seharusnya yang menilai calon anggota komisioner yang baru itu tahu secara lintas, bahwa temen-temen KPU yang sekarang ini banyak terjadi permasalahan. “Ini juga seharusnya menjadi penilaian buat teman-teman tim seleksi, tapi kok bisa dipilih dan diloloskan lagi. sebetulnya itu dilihat dari sisi apa, dari sisi manajemen sudah kurang baik, pengelolaan anggaran juga kurang baik saling berebut. Ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan,” jelasnnya. Ditambahkannya, dia juga menilai, tertutupnya KPU dalam transparansi anggaran jelas mencirikan dan menimbulkan kecurigaan. Artinya KPU jelas-jelas bermasalah, baik dalam penggunaan anggaran, dari sistem teknis bermasalah. “Di DPRD saja terbuka untuk transparansi anggaran, kenapa KPU menutup diri. Seharusnya KPU terbuka supaya bisa klir. Ini malah enggan membeberkan data. Bahkan semakin tertutup semakin tinggi kecurigaan kita,” tegasnya. Terpisah, Sekretaris Banggar H Mustofa SH mengatakan, polemik yang sedang terjadi di internal KPU itu yang menjadi catatan dan selalu dicecar dalam rapat anggaran, terutama soal penggunaan anggaran. Artinya KPU yang ngotot akan melaksanakan putaran kedua dengan mendesak dewan segera mencairkan anggaran Rp20 miliar. Padahal, banyak persoalan yang belum terjawab saat rapat anggaran beberapa waktu lalu. “Contohnya kualitas surat suara, kartu pemilih dan formulir-formulir yang beredar di setiap TPS adalah hasil cetakan, tapi fakta di lapangan formulir itu tidak muncul warnanya. Artinya diperbanyak dengan cara dikopi. Padahal, di dalam RAB itu tidak ada,” terangnya. Kemudian, terkait regulasi penghitungan surat suara di Asrama Haji Watubelah terhadap pertanyaan dari beberapa saksi, ada salah satu tempat yang pendistribusian surat suara dilakukan secara bertahap. Bahkan ada di salah satu Kecamatan tidak ada berita acara. “Kenapa kita tanyakan, karena di lapangan ditemukan selisih setelah perhitungan rapat pleno di PPK itu kelebihan surat suara,” katanya. Selain itu, tingkat partisipasi pemilih tidak maksimal walaupun anggaran sudah Rp30 miliar. “Banyaknya persoalan yang dilakukan KPU, tapi tidak dapat dipertanggungjawabkan soal beberapa kesalahan KPU, membuat banggar tidak begitu saja meng-acc anggaran pilkada putaran kedua,” ungkapnya. Ketua fraksi PDIP itu menjelaskan, di dalam aturan bahwa salah satu yang bisa mengundurkan pilkada di tahapan berikutnya adalah proses pencairan APBD. Bicara terkait proses pencairan APBD terlebih dahulu ada penganggaran. Dan itu harus didasari oleh evaluasi untuk pelaksanaan tahapan berikutnya dan termasuk kemampuan keuangan dari APBD. “Wong kemampuannya saja kurang lebih Rp10 miliar, belum lagi kebutuhan OPD-OPD yang program-program kerjanya memerlukan anggaran perubahan dari target kinerja OPD. Jadi, masih banyak pertimbangan-pertimbangan terkait dengan pengalokasian pilkada berikutnya. Kalau di anggaran perubahan ini kita tidak mampu, bukan kemudian kita tidak melaksanakan pilkada berikutnya, tapi mencari momentum yang memang nanti anggaran itu murni,” pungkasnya. (sam)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: