Dokter Pasien

Dokter Pasien

Gregory lantas meledakkan bom pipa pertama. Kaca-kaca rontok. Lalu bom kedua. Lebih rontok lagi. Bom ketiga tidak bisa meledak.

Inilah catatan waktunya:

Jam 10.52 Gregory turun dari bus.

Jam 10.54 sudah ada telepon masuk ke 911. Dari banyak penelepon.

Jam 10.58 satu telepon lagi masuk ke 911.

Yang menelepon mengaku bernama Gregory. Ia minta agar dikirim banyak ambulans. Ia juga minta agar dirinya ditangkap.

Selesai menelepon, Gregory tengkurap di lantai. Ia menunggu polisi datang untuk menangkapnya.

Di pengadilan Gregory mengaku hanya ingin bikin sensasi. Agar menarik perhatian. Ia mengaku tidak punya niat membunuh.

Apa yang ia harapkan dari sensasinya itu?

\"Agar dokter ikut merasakan penderitaan orang yang sakit tulang belakang,\" katanya kepada hakim. Tujuan akhir Gregory: agar dokter mau terus memberikan resep narkotika kepada penderita sakit tulang belakang.

\"Menjadi tua itu sakit sekali. Apalagi punya masalah di tulang belakang,\" ujar  Gregory.

Saya bisa merasakan sakitnya Gregory. Saya pernah kecetit seperti itu. Lebih 40 tahun lalu. Ketika saya masih bisa bekerja 18 jam sehari. Demi memajukan media yang Anda sudah tahu itu.

Saya terkena masalah jam 4 pagi. Ketika baru saja bangun tidur di lantai ruang kerja –mulai tidur jam 02.00 bangun jam 04.00. Saya langsung ke meja komputer. Saya ingin menyalakan stavolt di bawah meja. Saya raih tombol itu. Dengan membengkokkan punggung.

Dor! Saya menjerit. Sakit sekali. Saya tidak bisa berdiri. Setengah jam saya menangis. Seorang diri. Di ruang kerja kantor yang sudah sepi.

Saya coba turun dari kursi. Ingin berbaring di lantai. Tidak bisa. Sakit sekali. Lalu saya jatuhkan badan saya ke lantai. Dengan rasa sakit yang sampai keluar air mata. Saya berhasil telentang. Terasa agak enakan. Lalu mencoba miring. Gagal. Tidak tahan. Sakit sekali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: