Dokter Pasien

Dokter Pasien

Saya pun gagal menyiapkan materi rapat jam 7 pagi hari itu. Padahal peserta rapat itu para pimpinan bank cabang Surabaya.

Pelan-pelan saya berusaha menuju ruang rapat. Dengan penuh kesakitan. Dari ruang kerja ke ruang rapat itu perlu waktu dua jam. Tiap satu langkah berhenti. Sambil pegangan tembok. Tidak ada yang melihat.

Jam 6.30 saya sudah duduk di meja pimpinan rapat. Saya tidak bisa menyambut tamu di pintu masuk –seperti biasanya. Saya duduk saja di ruang rapat. Menunggu tamu di situ.

Saya ramah-ramahkan wajah saya. Saya simpan sakit itu di dalam penderitaan. Rapat pun selesai. Tanpa ada yang tahu siksaan itu.

Begitu tamu-tamu pulang, saya minta diantar ke rumah sakit. Yang terdekat: RS RKZ. Di situ saya ditraksi. Bahu saya diikat di tempat tidur. Telapak kaki saya juga diikat. Tempat tidur itu bisa dipanjangkan secara elektronik. Bagian tengah tubuh saya ditarik ke atas dan ke bawah.

Seminggu saya menjalani terapi itu. Setiap hari. Mulai enakan. Lalu saya mencoba main sepak bola. Besoknya sakit itu kumat lagi. Lalu diterapi lagi. Sehat. Sampai sekarang. Tidak pernah kumat lagi –dan tidak pernah main sepak bola lagi. Dan tidak ada toko senjata di Surabaya.

Tidak terungkap apakah keinginan membuat sensasi Gregory tersebut juga akibat konsumsi narkotika yang panjang. (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: