Samad Kritik Polisi di Depan Kapolri
JAKARTA – Peluncuran buku Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan di Jakarta kemarin (17/11) mempertemukan Kapolri Jenderal Sutarman dan Ketua KPK Abraham Samad di satu panggung. Hal itu merupakan kemunculan pertama di muka publik setelah Sutarman dilantik menjadi Kapolri. Latar belakang hubungan keduanya menjadikan momen itu istimewa. Sebelum memulai acara, semua narasumber yang hadir berfoto bersama. Tanpa canggung Sutarman dan Samad saling menggenggam erat tangan satu sama lain setelah diminta wartawan. Senyum keduanya seolah mencairkan suasana tegang yang terjadi setahun sebelumnya. Yakni, saat Polri menghalangi upaya KPK menggeledah Korlantas kemudian disusul pengepungan terhadap kantor KPK oleh pasukan Polri. Kala itu, santer dikabarkan upaya tersebut atas sepengetahuan Sutarman. Kabar tersebut pun belakangan dibantah oleh Sutarman. Selain Sutarman dan Samad, acara kemarin juga dihadiri oleh sejumlah tokoh. Di antaranya, mantan wapres Jusuf Kalla (JK), anggota Kompolnas Adrianus Meliala, aktivis antikoruposi Teten Masduki, dan anggota DPR Bambang Soesatyo. Hadir pula Meriyati Roeslani atau Meriyati Hoegeng, istri mantan Kapolri almarhum Jenderal Hoegeng. Selain momen antara Sutarman dan Samad, ada pula momen yang menggambarkan loyalitas Sutarman kepada korps, termasuk kepada senior. Saat bersalaman, Sutarman mencium tangan Meri setidaknya dua detik. Setelahnya, Sutarman menggenggam erat tangan perempuan 89 tahun itu sembari tersenyum. Jenderal asal Sukoharjo itu mengaku tersentuh dengan kisah Hoegeng. ’’Saya meneteskan air mata saat memmbaca buku ini,’’ ucapnya. Sutarman pun berjanji meneruskan inspirasi dari buku tersebut kepada seluruh jajarannya yang berjumlah sekitar 400 ribu personel itu. Saat diskusi, Samad menitipkan pesan kepada Sutarman untuk lebih tegas menindak bawahannya yang bandel. Sebab, masih dijumpai praktik suap di tubuh kepolisian. Dia menemui sendiri banyak polisi yang baik, namun terpaksa menyimpang. ’’Mereka bilang nurani mau jadi polisi baik, namun susah kalau ditarget atasan untuk setor setiap bulan,’’ ujarnya. Samad juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap joke tiga polisi jujur: polisi Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur. Menurut dia, polisi baik bukan hanya Hoegeng. Masih banyak yang tidak terekspos. ’’Tapi, jangan tempatkan mereka di bagian diklat. Tempatkan di penindakan, jadi mereka bisa menindak yang salah,’’ lanjutnya. Sementara itu, sang penulis, Suhartono, mengatakan jika dia ingin menggambarkan sisi lain seorang Hoegeng. Mantan kapolri tidak hanya seorang polisi, melainkan juga birokrat ulung. ’’Meski ditunjuk sebagai menteri, Hoegeng tetap tidak berubah sikap dan prinsip hidupnya sebagai Bhayangkara sejati,’’ terangnya. Buku itu lahir dari penuturan Soedharto Martopoespito, sekretaris Hoegeng saat dia menjabat sebagai menteri/kepala sekretaris Presidium Kabinet (Sekaran Seskab) Dwikora III. Karenanya, buku tersebut lebih banyak bercerita soal Hoegeng sebagai birokrat. Berbeda dengan dua buku yang terbit sebelumnya, menceritakan Hoegeng sebagai polisi. (byu/agm)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: