Wajibkan Madrasah Langgar Aturan
CIREBON– Tim penyusun draf Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Diniah Takmiliyah sengaja tidak mewajibkan madrasah bagi generasi penerus bangsa. Alasannya, kata wajib berbenturan dengan undang-undang (UU) dan berpotensi terjerat hukum pidana bagi pelanggarnya. Karena itu, tim penyusun draf yang terdiri dari unsur legislatif dan eksekutif, sepakat menggunakan kata dapat, bukan wajib. Kepala Bagian Hukum Pemkot Cirebon Yuyun Sriwahyuni SH mengatakan jika perda itu menggunakan kata wajib agar dilaksanakan oleh para peserta didik di tingkat dasar dan menengah, maka harus ada ketentuan sanksi pidana yang mengatur di dalam perda itu. Karena dianggap menjadi beban berat bagi peserta didik dan pihak sekolah, kata wajib melaksanakan diniah takmiliyah diganti menjadi dapat. “Kami tidak ingin membebani mereka di kemudian hari. Ini karena aturan pusat belum diubah,” ujarnya kepada Radar, Kamis lalu (5/12). Aturan yang dimaksud di antaranya UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (Otda). Di mana, lanjut Yuyun, dalam pembuatan perda diharuskan mengikuti aturan lebih tinggi dan tidak bertentangan. Sementara, dalam aturan lebih tinggi, untuk menggunakan kata wajib dalam setiap aturan, harus mencantumkan pula sanksi bagi yang melanggar kewajiban itu. Sedangkan kata dapat diperbolehkan tak mencantumkan sanksi pidana, karena bersifat pilihan. Namun, karena bersifat pilihan, sehingga pelaksanaan madrasah berpotensi tidak maksimal. Dalam aturan UU 32 tahun 2004 tentang Otda, sanksi dari kata wajib dalam perda dapat berupa uang atau denda Rp50 juta dengan hukuman penjara maksimal 6 bulan. “Kalau di perda, hukuman penjaranya hanya tiga bulan,” terangnya. Sebagai contoh, ucap Yuyun, peserta didik yang masuk ke SMPN 1 Kota Cirebon tidak menggunakan sertifikat madrasah diniah sebagai syarat masuk ke SMPN 1, maka, pihak sekolah terkena sanksi tersebut. Selain itu, menggunakan kata wajib, harus menyiapkan lima hal. Diantaranya, SDM, biaya dan sarana prasaranan. “Pelaksananya kemenag. Dengan pengawasan dari disdik,” bebernya. Anggota Pansus Raperda Diniah Takmiliyah, Taufik Pratidina ST menjelaskan, rapat finalisasi telah dilakukan antara pansus dan tim asistensi Pemkot Cirebon. Hadir pula didalam rapat itu disdik dan kemenag. Dua instansi itu akan bekerja sama dan terkait erat dalam pelaksanaan raperda diniah takmiliyah saat sudah ketuk palu nanti. “Sudah disepakati, 17 Desember ketuk palu paripurna,” ujarnya. Meskipun nantinya sudah disahkan dan dapat diberlakukan untuk Kota Cirebon, aturan itu tidak bersifat wajib atau mengikat. Sebab, dalam aturan raperda diniah takmiliyah pasal 12 ayat (2) menyebutkan, peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, yang beragama Islam, dapat menjadi peserta didik pada pendidikan diniah takmiliyah. Dalam keterangan pasal tersebut, menggunakan kata dapat. Artinya, lanjut Taufik, pendidikan diniah takmiliyah tidak diwajibkan bagi peserta didik pada jenjang pendidikan tersebut. “Kita secara bertahap melakukan perubahan. Tidak bisa langsung. Perda bisa diganti ke depannya,” tukas Taufik. Dikatakan sekretaris Komisi C DPRD itu, usulan pembuatan perda diniah takmiliyah, berawal dari keprihatinan seluruh elemen masyarakat Kota Cirebon, atas kondisi generasi muda yang semakin tidak terkendali. Kenakalan remaja, kriminalitas, semakin meningkat karena kurangnya pemahaman nilai-nilai agama sejak kecil. Karena itu, untuk melakukan upaya pencegahan dan meminimalisasi remaja tidak produktif, DPRD Kota Cirebon bersama Pemkot Cirebon, membuat aturan tentang pendidikan diniah takmiliyah. “Dengan perda diniah ini, kita tanamkan nilai agama sejak dini,” terangnya. (ysf)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: