Utje Minta KUA Fleksibel, Terkait “Wajib” Nikah di KUA

Utje Minta KUA Fleksibel, Terkait “Wajib” Nikah di KUA

KUNINGAN – Selain wakil rakyat, sikap para penghulu juga mendapat respons dari Bupati baru, Hj Utje Ch Suganda MAP. Didampingi wakilnya, H Acep Purnama MH, Utje menyebutkan, kesepakatan penghulu untuk tidak menerima permintaaan nikah di luar jam kerja dan di luar kantor urusan agama (KUA) masih dalam tahap kajian. “Itu sedang dikaji. Saklek ataupun tidak, nanti kita lihat dulu. Sebetulnya harus fleksibel dalam menerapkan kesepakatan ataupun kebijakan. Karena ini menyangkut masyarakat banyak,” kata Utje usai menghadiri rapat paripurna DPRD, kemarin (10/12). Lebih dipertegas, menurutnya, kesepakatan ataupun aturan tersebut tidak mutlak. Karena semua butuh kajian, saran rembug dan perlu pendapat dari masyarakat. Terkait dengan kekhawatiran kasus dugaan gratifikasi seperti yang terjadi Jawa Timur, kata Utje, tergantung individunya. “Yang penting masyarakat jangan dibebani. Kita harus fasilitasi masyarakat. Aturan atau kesepakatan itu jangan terlalu kaku, yang nanti membuat rakyat menderita. Saya enggak bisa demikian,” tandasnya. Ditanya bagaimana seandainya para penghulu melakukan aksi mogok, Utje tidak memberikan tanggapan panjang lebar. Istri dari mantan Bupati H Aang Hamid Suganda tersebut hanya mengatakan, bahwa penghulu juga manusia. Terpisah, salah seorang pemerhati sosial politik, Rifqi Fauzi, mencoba mengemukakan pendapat terhadap pro-kontra kesepakatan para penghulu. Menurut dia, ada yang salah dengan cara berpikir masyarakat sekarang ini. “Yang pertama, kita harus samakan persepsi, bahwa yang menikahkan itu sebetulnya bukan penghulu, melainkan orang tua calon pengantin. KUA atau penghulu hanyalah pencatat administrasi saja, kemudian mengeluarkan buku nikah,” ungkapnya. Atas dasar tersebut, akad nikah tidak mesti dilaksanakan di kantor KUA. Dengan mengambil lokasi akad nikah sekaligus resepsi di rumah pun pernikahan tetap berjalan dan sah. Sebab di pemerintah desa, imbuh dia, terdapat seorang kaur kesra atau ketib yang memiliki tupoksi relevan. “Inilah yang perlu didiskusikan. Karena dengan mendiskusikan hal ini segala kekhawatiran para penghulu atau kepala KUA menyangkut kasus di Jatim dapat diatasi. Ini juga mampu mengatasi kegelisahan masyarakat yang ingin menikah pada hari Sabtu atau Minggu, di luar KUA,” saran dia. Rifqi paham betul, penghulu juga manusia berstatus PNS. Mereka memiliki hak untuk berlibur pada Sabtu dan Minggu sebagaimana PNS lainnya. Kalaupun pada hari libur mereka tetap bekerja, wajar jika calon pengantin memberikan kadeudeuh sebagai pengganti transpor. “Memang dilematis, satu sisi para penghulu ingin menjalankan tugasnya dengan baik dalam melayani masyarakat. Tapi satu sisi juga mereka butuh liburan. Mereka juga tidak ditunjang oleh dana operasional untuk menghadiri undangan calon pengantin pada hari libur. Sementara ketika menerima pemberian itu dianggap gratifikasi,” bebernya. (ded)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: